Jumat, 29 Mei 2015

materi : catur marga dan panca yadnya kelompok : 3 shofiyatul fithriyah, nur fitri barliyana, anifah ayu fithriah, sadawi

materi : catur marga dan panca yadnya
kelompok : 3 shofiyatul fithriyah, nur fitri barliyana, anifah ayu fithriah, sadawi
Pengertian Catur Marga
Catur Marga adalah empat jalan / cara mengamalkan agama Hindu dalam kehidupan bermasyarakat.
Karena keadaan dan kemampuan lahir-batin umat Hindu tidak semua sama maka Veda mengajarkan Catur Marga agar semua umat dapat beragama sesuai kemampuannya.

Macam-macam Catur marga
Catur marga terdiri dari 4 golongan, yaitu ; Bhakti Marga, Karma Marga,Jnana Marga, Yoga Marga.
1.     Bhakti Marga
Mengamalkan agama dengan melaksanakan sembahyang, cinta kasih terhadap sesama makhluk ciptaan Tuhan.
2.     Karma Marga
Mengamalkan agama dengan berbuat Dharma seperti membangun Pura, merawat dan menolong orang yang kesusahan yang itu semua dilandasi ikhlas dan tanggung jawab .
3.     Jnana Marga
Mengamalkan agama dengan jalan mempelajari, menghayati, memahami, menyebarkan agama dan ilmu pengetahuan keterampilan dalam kehidupan sehari-hari.
4.     Yoga Marga
Mengamalkan agama dengan bersemadi, tapa atau Brata dalam segala hal termasuk Upawasa dan pengendalian seluruh Indria.

Pengertian, dan tujuan Panca Yadnya
Panca Yadnya terdiri dari dua kata, yaitu Panca – Lima dan Yadnya- Korban suci atau persembahan suci. Jadi Panca Yadnya adalah lima persembahan suci yang tulus ikhlas
Tujuannya dengan melaksanakan panca yadnya berarti kita telah melenyapkan Tri Rna (3hutang kepada Tuhan, leluhur, dan orang tua) dan Pikiran akan mencapai kebebasan terakhir.

Macam-macam Panca Yadnya
1.     Dewa Yadnya
          adalah persembahan suci yang ditujukan kepada Sang Hyang Widhi dan para Dewa. Tujuannya adalah menyampaikan rasa bhakti dan syukur kepada Sang Hyang Widhi atas segala anugerah-Nya.
2.     Pitra Yadnya
          Adalah persembahan suci yang ditujukkan untuk para Rsii dan Guru untuk menjaga kesejahteraannya. Rsi adalah orang yang bijaksana dan berjiwa suci.
3.     Manusia Yadnya
          Adalah upacara yang dipersembahkan untuk memelihara hidup , kesempurnaan dan kesejahteraan manusia.
4.     Bhuta Yadnya

          adalah persembahan suci yang ditujukan kepada Bhuta Kala atau makhluk bawahan. Bhuta Kala adalah kekuatan-kekuatan alam yeng bersifat negatif yang perlu dilebur agar kembali ke sifat-sifat positif agar tidak mengganggu ketenangan hidup umat manusia.

Materi : Upacara kelahiran, perkawinan, kematian dan hari –hari suci serta tempat – tempat suci dalam Agama Buddha Kelompok : (3) Shofiyatul Fithriyah, Nur Fitri Barliyana, Sadawi, Anifah Ayu Fitriah

Materi             : Upacara kelahiran, perkawinan, kematian dan hari –hari suci serta tempat – tempat suci dalam Agama Buddha
Kelompok      : (3) Shofiyatul Fithriyah, Nur Fitri Barliyana, Sadawi, Anifah Ayu Fitriah
A.   Upacara kelahiran,  perkawinan dan kematian adalam agama Buddha
a.       Makna kelahiran dan upacaranya
Agama Buddha memahami kelahiran sabagai proses tumimbal lahir yang harus melampaui 8 keadaan. Dalam Buddhisme Theravada, ada praktek ritual tertentu diamati ketika seorang anak lahir dari orangtua Buddhis.Ketika bayi cocok untuk dibawa keluar dari pintu, orang tua memilih hari baik atau bulan purnama hari dan bawa anak ke candi terdekat. Mereka pertama kali menempatkan anak di lantai ruang kuil atau di depan patung Buddha untuk menerima berkat-berkat dari Tiga Permata (Buddha, sangha dan dharma).
b.      Makna perkawinan dan upacaranya
Makna perkawinan  adalah perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami isteri. Di dalam Tipitaka tidak banyak ditemukan uraian-uraian yang mengatur masalah perkawinan, akan tetapi dari berbagai sutta dapat diperoleh hal-hal yang sangat penting bagi suami dan isteri untuk membentuk perkawinan yang bahagia.
Upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha dapat dilangsungkan di vihara,
cetiya atau di rumah salah satu mempelai yang memenuhi syarat untuk pelaksanaan upacara perkawinan.
Adapun perlengkapan atau peralatan upacara sebagai berikut :
a.  Altar dimana terdapat Buddharupang.
b. Lilin lima warna (biru, kuning, merah, putih, jingga)
c. Tempat dupa
d. Dupa wangi 9 batang
e. Gelas/mangkuk kecil berisi air putih dengan bunga (untuk dipercikkan)
f. Dua vas bunga dan dua piring buah-buahan untuk dipersembahkan oleh kedua mempelai
g. Cincin kawin
h. Kain kuning berukuran 90 X 125 cm2
i. Pita kuning sepanjang 100 cm
j. Tempat duduk (bantal) untuk pandita, kedua mempelai, dan bhikkhu (apabila hadir)
k. Surat ikrar perkawinan
l. Persembahan dana untuk bhikkhu (apabila hadir), dapat berupa bunga, lilin, dupa dan lain-lain.
Pelaksanaan upacara perkawinan :
1. Pandita dan pembantu pandita sudah siap di tempat upacara.
2. Kedua mempelai memasuki ruangan upacara dan berdiri di depan altar.
3.Pandita menanyakan kepada kedua mempelai, apakah ada ancaman atau paksaan yang mengharuskan mereka melakukan upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha, apabila tidak ada maka acara dapat dilanjutkan.
4. Penyalaan lilin lima warna oleh pandita dan orang tua dari kedua mempelai.
5. Persembahan bunga dan buah oleh kedua mempelai.
6. Pandita mempersembahkan tiga batang dupa dan memimpin namaskara
7. Pernyataan ikrar perkawinan
8. Pemasangan cincin kawin.
9. Pengikatan pita kuning dan pemakaian kain kuning.
10. Pemercikan air pemberkahan oleh orang tua dari kedua mempelai dan pandita.
11. Pembukaan pita kuning dan kain kuning.
12. Wejangan oleh pandita.
13. Penandatanganan Surat lkrar Perkawinan.
14.Namaskara penutup dipimpin oleh pandita.
c.       Makna kematian dan upacaranya
Definisi kematian menurut agama Budha tidak hanya sekedar ditentukan oleh unsur-unsur jasmaniah, entah itu paru-paru, jantung ataupun otak. Ketakberfungsian ketiga organ itu hanya merupakan gejala ‘akibat’ atau ‘pertanda’ yang tampak dari kematian, bukan kematian itu sendiri. Agama Buddha mengajarkan, bahwa kematian bukan akhir dari segalanya. Kematian hanyalah satu fase peralihan antara hidup yang sekarang dengan kehidupan di alam tumimbal lahir yang baru.
B.     Hari - hari suci dan tempat - tempat suci agama Buddha
a.      Hari - hari suci (Waisak ,Asadha, Kathina)
1.      Waisak                                     
Hari Waisak memperingati tiga peristiwa penting dalam kehidupan Buddha Gaotama. Hari waisak menandai pula pergantian tahun, karena Tarikh Buddhis dimulai sejak Buddha Gotama parinirwana. Perayaan Hari Waisak di Indonesia mengikuti keputusan WFB. Secara tradisional dipusatkan secara nasional di komplek Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
2.      Asadha
Dua bulan setelah purnama Waisak umat Buddha merayakan hari Asadha. Asadha adalah hari Dharma, karena memperingati pembabaran Dharma yang pertama kali. Di Taman Rusa Istipatana, Sarnath dekat Benares, Buddha menyampaikan khotbah pertama yang dinamakan Dhammacakkappavattana-sutta (pemutaran roda dharma) kepada lima orang petapa. Mereka adalah Kondanna, Vappa, Bhaddiya, Mahanama dan Assaji, teman–teman nya bertapa yang menempuh cara menyiksa diri. Cara ekstremtersebut sudah ditinggalkan oleh Buddha. Kelima petapa itu memahami Dhama, ditahbiskan menjadi biku, dan selanjutnya berhasil menjadi Arahat. Sejak itu terbentuklah Ariya-Sangha.
3.      Kathina
Setelah Hsri purnama Asadha, para biku memasuki masa vassa atau masa penghujan di India Utara. Selama tiga bulan mereka tidak melakukan perjalanan, mulanya agar tidak menginjak tunas-tunas tanaman dan mengganggu berbagai bentuk kehidupan lain. Kathina sebenarnya bukan suatu upacara peringatan. Upacara ini tidak bias diselenggarakan jika tidak ada sejumlah biku yang melaksanakan kewajiban Vassa dan tidak ada umat yang berdana.
b.      Pengertian dan fungsi vihara
Vihara adalah rumah ibadah agama Buddha dan mempunyai fungsi sebagai tempat ibadahnya umat Buddha.
c.       Candi- candi Buddha di Indonesia
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg0AwUUbbvd8M05V2v60SolCXOe46LKiUbAUVtltr3Zykpo8WQZImjFgotLq-xNJyH6w_Fh2i5gIeYsefPc5oAqSNU0pqDTcgYzhLaQSWYiSJDgYlqKLfpCP1Z6buCi8ShBItNCsWF0Ept4/s1600/Borobudur.jpghttp://4.bp.blogspot.com/-LrT60BY1yoI/U5bAMDIgP_I/AAAAAAAAAMQ/Ax-uwyboNss/s1600/Borobudur.jpg
Borobudur adalah nama sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Candi berbentuk stupa ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha. Stupa utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang didalamnya terdapat arca buddha tengah duduk bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap tangan) Dharmachakra mudra.
            Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha. Para peziarah masuk melalui sisi timur memulai ritual di dasar candi dengan berjalan melingkari bangunan suci ini searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah Kāmadhātu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak berwujud). Dalam perjalanannya ini peziarah berjalan melalui serangkaian lorong dan tangga dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang terukir pada dinding dan pagar langkan..
Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun umat Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur untuk memperingati Trisuci Waisak. Dalam dunia pariwisata, Borobudur adalah obyek wisata tunggal di Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjkJDfHd5nKtZmkbd0JcVcX-1P-jVs12Nyi1c3ULs6hjg9CnCjpINJg6z_k6AxvSbWrh4wtaj2G2r8SQrhtPUYdJJKT2peDfqNH4GySt9nht_uS24yJEb7awCcckMtm5s2heTkIRLVMvA07/s1600/sewu.jpghttp://4.bp.blogspot.com/-0oZjrexo4MYU5bAVTcmACI/AAAAAAAAAMY/WZvq4AUKEv0/s1600/sewu.jpg
Candi Sewu adalah candi Buddha yang dibangun pada abad ke-8 yang berjarak hanya delapan ratus meter di sebelah utara Candi Prambanan. Candi Sewu merupakan kompleks candi Buddha terbesar kedua setelah Candi Borobudur di Jawa Tengah. Candi Sewu berusia lebih tua daripada Candi Prambanan. Meskipun aslinya terdapat 249 candi, oleh masyarakat setempat candi ini dinamakan "Sewu" yang berarti seribu dalam bahasa Jawa. Penamaan ini berdasarkan kisah legenda Loro Jonggrang.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgKtDnPw66rxw-NBEteSswiV20XWqrhmzqck-v4opCk4ibUFU8xwM66Vqn_15U2sDOtSZjGnlDNXIkxumsnhilnwMGaiJVhZMCYgSM20J6ULIS4NHQr50vkFziJBahcnZv0O2TxHeJrbsyW/s1600/Mendut.jpghttp://4.bp.blogspot.com/-OBZezTpzwXc/U5bActe3zQI/AAAAAAAAAMg/AhpXRsFJ6A4/s1600/Mendut.jpg
Candi Mendut adalah sebuah candi bercorak Buddha. Candi yang terletak di Jalan Mayor Kusen Kota Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah ini, letaknya berada sekitar 3 kilometer dari candi Borobudur. Candi Mendut didirikan semasa pemerintahan Raja Indra dari dinasti Syailendra. Di dalam prasasti Karangtengah yang bertarikh 824 Masehi, disebutkan bahwa raja Indra telah membangun bangunan suci bernama wenuwana yang artinya adalah hutan bambu. Oleh seorang ahli arkeologi Belanda bernama J.G. de Casparis, kata ini dihubungkan dengan Candi Mendut.

Materi : Bhavana dan Upacara kelahiran, perkawinan, kematian dalam agama Hindu Kelompok : (3) Shofiyatul Fithriyah , Nur Fitri Barliyana, Sadawi, Anifah Ayu Fitriah

Materi             : Bhavana dan Upacara kelahiran, perkawinan, kematian dalam agama Hindu
Kelompok      :  (3) Shofiyatul Fithriyah , Nur Fitri Barliyana, Sadawi, Anifah Ayu Fitriah
A.   Ajaran Buddha tentang Bhavana
a.       Pengertian Bhavana
Bhavana berarti pengembangan, yaitu pengembangan batin dalam melaksanakan pembersihannya. Istilah lain yang arti dan pemakaianya hampir sama dengan Bhavana adalah Samadhi. Samadhi berarti pemusatan pikiran pada suatu obyek.
b.      Macam-macam Bhavana
1.      Samatha Bhavana
Berarti pengembangan pandangan batin yang bertujuan untuk mencapai ketenangan, batin terutama pikiran terpusat dan tertuju pada suatu obyek.
2.      Vivasana Bhavana
Berarti pengembangan pandangan terang yang bertujuan untuk mencapai pandangan terang.
B.   Upacara kelahiran, perkawinan dan kematian dalam agama Hindu
a.       Makna kelahiran dan upacaranya
Manusa artinya manusia, Yadnya artinya upacara persembahan suci yang tulus ikhlas. Upacara Manusa Yadnya adalah upacara persembahan suci yang tulus ikhlas dalam rangka pemeliharaan, pendidikan serta penyucian secara spiritual terhadap seseorang sejak terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai akhir kehidupan.
Upacara manusa yadnya erat sekali hubungannya dengan Catur Purusa Arta yang artinya empat tingkatan atau jenjang dalam menjalani hidup ini. Bagian dari catur purusa arta adalahbrahmacari, grehasta, wanaprasta, dan bhiksuka. Dalam Jenjang-jenjang hidup inilah kita akan mengalami yang disebut manusia dalam agama tadi. Sebelum manusia itu dilahirkan dan masuk pada jenjang-jenjang kehidupan.
b.      Makna perkawinan dan upacaranya
Upacara Perkawinan (Pawiwahan / Wiwaha) pada hakekatnya adalah upacara persaksian ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan kepada masyarakat bahwa kedua orang yang bersangkutan telah mengikatkan diri sebagai suami-istri.
Sarana             :
1. Segehan cacahan warna lima.
2. Api takep (api yang dibuat dari serabut kelapa).
3. Tetabuhan (air tawar, tuak, arak).
4. Padengan-dengan/ pekala-kalaan.
5. Pejati.
6. Tikar dadakan (tikar kecil yang dibuat dari pandan).
7. Pikulan (terdiri dari cangkul, tebu, cabang kayu dadap yang ujungnya diberi periuk, bakul yang berisi uang).
8. Bakul.
9. Pepegatan terdiri dari dua buah cabang dadap yang dihubungkan dengan benang putih.
Waktu Biasanya dipilih hari yang baik, sesuai dengan persyaratannya (ala-ayuning dewasa). Tempat Dapat dilakukan di rumah mempelai Iaki-laki atau wanita sesuai dengan hokum adat setempat (desa, kala, patra). Pelaksana Dipimpin oleh seorang Pendeta / Pinandita / Wasi / Pemangku.
Tata cara
1. Sebelum upacara natab banten pedengan-dengan, terlebih dahulu mempelai mabhyakala dan maprayascita.
2. Kemudian mempelai mengelilingi sanggah Kamulan dan sanggah Pesaksi sebanyak tiga kali serta dilanjutkan dengan jual beli antara mempelai Iaki-laki dengan mempelai wanita disertai pula dengan perobekan tikar dadakan oleh mempelai Iaki-laki.
3. Sebagai acara terakhir dilakukan mejaya-jaya dan diakhiri dengan natab banten dapetan. Bagi Umat Hindu upacara perkawinan mempunyai tiga arti penting yaitu :
- Sebagai upacara suci yang tujuannya untuk penyucian diri kedua calon mempelai agar mendapatkan tuntunan dalam membina rumah tangga dan nantinya agar bisa mendapatkan keturunan yang baik dapat menolong meringankan derita orang tua/leluhur.
- Sebagai persaksian secara lahir bathin dari seorang pria dan seorang wanita bahwa keduanya mengikatkan diri menjadi suami-istri dan segala perbuatannya menjadi tanggung jawab bersama.
- Penentuan status kedua mempelai, walaupun pada dasarnya Umat Hindu menganut sistim patriahat (garis Bapak) tetapi dibolehkan pula untuk mengikuti sistim patrilinier (garis Ibu). Di Bali apabila kawin mengikuti sistem patrilinier (garis Ibu) disebut kawin nyeburin atau nyentana yaitu mengikuti wanita karena wanita nantinya sebagai Kepala Keluarga.
Upacara Pernikahan ini dapat dilakukan di halaman Merajan/Sanggah Kemulan ( Tempat Suci Keluarga) dengan tata upacara yaitu kedua mempelai mengelilingi Sanggah Kemulan ( Tempat Suci Keluarga ) sampai tiga kali dan dalam perjalanan mempelai perempuan membawa sok pedagangan ( keranjang tempat dagangan) yang laki memikul tegen-tegenan (barang-barang yang dipikul) dan setiap kali melewati “Kala Sepetan”(upakara sesajen yang ditaruh di tanah) kedua mempelai menyentuhkan kakinya pada serabut kelapa belah tiga.
Setelah tiga kali berkeliling, lalu berhenti kemudian mempelai laki berbelanja sedangkan mempelai perempuan menjual segala isinya yang ada pada sok pedagangan (keranjang tempat dagangan), dilanjutkan dengan merobek tikeh dadakan (tikar yang ditaruh di atas tanah), menanam pohon kunir, pohon keladi (pohon talas) serta pohon endong dibelakang sanggar pesaksi/sanggar Kemulan (Tempat Suci Keluarga) dan diakhiri dengan melewati "Pepegatan" (Sarana Pemutusan) yang biasanya digunakan benang didorong dengan kaki kedua mempelai sampai benang tersebut putus.
c.       Makna kematian dan upacaranya
Ngaben merupakan salah satu upacara yang dilakukan oleh Umat Hindu di Bali yang tergolong upacara Pitra Yadnya (upacara yang ditunjukkan kepada Leluhur). Ngaben secara etimologis berasal dari kata api yang mendapat awalan nga, dan akhiran an, sehingga menjadi ngapian, yang disandikan menjadi ngapen yang lama kelamaan terjadi pergeseran kata menjadi ngaben. Upacara Ngaben selalu melibatkan api, api yang digunakan ada 2, yaitu berupa api konkret (api sebenarnya) dan api abstrak (api yang berasal dari Puja Mantra Pendeta yang memimpin upacara). Versi lain mengatakan bahwa ngaben berasal dari kata beya yang artinya bekal, sehingga ngaben juga berarti upacara memberi bekal kepada Leluhur untuk perjalannya ke Sunia Loka
Bentuk-bentuk Upacara Ngaben
1.      Ngaben Sawa Wedana
Sawa Wedana adalah upacara ngaben dengan melibatkan jenazah yang masih utuh (tanpa dikubur terlebih dahulu) . Biasanya upacara ini dilaksanakan dalam kurun waktu 3-7 hari terhitung dari hari meninggalnya orang tersebut. Pengecualian biasa terjadi pada upacara dengan skala Utama, yang persiapannya bisa berlangsung hingga sebulan. Sementara pihak keluarga mempersiapkan segala sesuatu untuk upacara maka jenazah akan diletakkan di balai adat yang ada di masing-masing rumah dengan pemberian ramuan tertentu untuk memperlambat pembusukan jenazah. Dewasa ini pemberian ramuan sering digantikan dengan penggunaan formalin. Selama jenazah masih ditaruh di balai adat, pihak keluarga masih memperlakukan jenazahnya seperti selayaknya masih hidup, seperti membawakan kopi, memberi makan disamping jenazah, membawakan handuk dan pakaian, dll sebab sebelum diadakan upacara yang disebut Papegatan maka yang bersangkutan dianggap hanya tidur dan masih berada dilingkungan keluarganya.
2.      Ngaben Asti Wedana
Asti Wedana  adalah upacara ngaben yang melibatkan kerangka jenazah yang telah pernah dikubur. Upacara ini disertai dengan upacara ngagah, yaitu upacara menggali kembali kuburan dari orang yang bersangkutan untuk kemudian mengupacarai tulang belulang yang tersisa. Hal ini dilakukan sesuai tradisi dan aturan desa setempat, misalnya ada upacara tertentu dimana masyarakat desa tidak diperkenankan melaksanakan upacara kematian dan upacara pernikahan maka jenazah akan dikuburkan di kuburan setempat yang disebut dengan upacara Makingsan ring Pertiwi ( Menitipkan di Ibu Pertiwi).
3.      Swasta
Swasta adalah upacara ngaben tanpa memperlibatkan jenazah maupun kerangka mayat, hal ini biasanya dilakukan karena beberapa hal, seperti : meninggal di luar negeri atau tempat jauh, jenazah tidak ditemukan, dll. Pada upacara ini jenazah biasanya disimbolkan dengan kayu cendana (pengawak) yang dilukis dan diisi aksara magis sebagai badan kasar dari atma orang yang bersangkutan.
Tujuan Upacara Ngaben
Upacara ngaben secara konsepsional memiliki makna dan tujuan sebagai berikut :
1.      Dengan membakar jenazah maupun simbolisnya kemudian menghanyutkan abu ke sungai, atau laut memiliki makna untuk melepaskan Sang Atma (roh) dari belenggu keduniawian sehingga dapat dengan mudah bersatu dengan Tuhan (Mokshatam Atmanam)
2.      Membakar jenazah juga merupakan suatu rangkaian upacara untuk mengembalikan segala unsur Panca Maha Bhuta (5 unsur pembangun badan kasar manusia) kepada asalnya masing-masing agar tidak menghalangi perjalan Atma ke Sunia Loka Bagian Panca Maha Bhuta yaitu : a. Pertiwi : unsur padat yang membentuk tulang, daging, kuku, dll b. Apah: unsur cair yang membentuk darah, air liur, air mata, dll c. Bayu : unsur udara yang membentuk nafas. d. Teja : unsur panas yang membentuk suhu tubuh. e. Akasa : unsur ether yang membentuk rongga dalam tubuh.

3.      Bagi pihak keluarga, upacara ini merupakan simbolisasi bahwa pihak keluarga telah ikhlas, dan merelakan kepergian yang bersangkutan.