AJARAN
HINDU DHARMA DAN BUDDHA DHARMA TENTANG MANUSIA DAN ALAM
Makalah
Disusun
untuk Memenuhi Salah Satu tugas
Pada
Hindu Buddha di Indonesia
Oleh
:
Shofiyatul
Fithriyah :1113032100044
Sadawi :
1113032100047
Nur
Fitri Barliyana : 1113032100048
Anifah
Ayu Fitriyah : 1113032100076
kelompok ; Tiga
kelas : V/B
JURUSAN
PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS
USHULUDDIN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGRI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
KATA PENGANTAR
Puji syukur
kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat sehatnya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini
dengan sempurna. Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah mengajarkan kita
tentang perjuangan melawan kebodohan sehingga kami bisa beradaptasi dan
berkomunikasi serta menulis dengan landasan ilmiah dan juga akademis.
Selanjutnya kami
sebagai pembuat makalah mengucapkan banyak terima kasih kepada civitas
akademika terutama dosen pembimbing yang telah mengarahkan kami untuk
menyelesaikan tugas pada matakuliah Hindu Buddha di Indonesia namun, hal yang terpenting adalah
juga meminta pada teman-teman dan khususnya dosen pembimbing untuk memberi
saran dan kritikannya pada makalah yang kami buat. Karena, kami yakin bahwa
makalah ini kuranglah sempurna sehingga kritik dan saran teman-teman dan
khususnya dosen pembimbing sangatlah kami butuhkan.
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Tentang
penciptaan alam dan manusia serta hubungan antara keduanya bukan merupakan yang
tabu dalam agama, semua agama membahas tentang hal itu. Karena manusia dan alam
merupakan yang paling penting dalam kehidupan maka tidak heran jika semua agama
membahas tentang hal tersebut demi keberlangsungan agama juga keberlangsungan
hidup manusia. Menurut orang Bali sejarah kebudayaan dan kemasyarakatan Bali dimulai
dengan kedatangan Majapahit di Bali. Zaman sebelumnya dipandang sebagai zaman
jahiliyah, zaman yang gelap, yang dikuasai roh-roh jahat serta mahluk-mahluk
yang ajaib. Kedatangan orang-orang Majapahit menciptakan zaman baru. Akan
tetapi sebenarnya jauh berabad-abad sebelum zaman Majapahit, di Bali Selatan
sudah ada suatu kerajaan dengan kebudayaan Hindu, mungkin pada tahap pertama
zaman Mataram kuno (antara tahun 600 dan 1000). Pusat kerajaan itu terdapat di
Pejeng dan Bedulu dengan raja-raja Warmadewa. Ada kemungkinan bahwa kemungkinan kerajaan ini disebabkam karena
pengaruh Mataram.[1]
Maka dari sangat
penting bagi kita mengkaji tentang menusia, alam dan juga hubungannya menurut
agama Hindu dan Budhha terutama Hindu Buddha di Indonesia. Aliran agama Hindu Dharma di Indonesia merupakan
sinkretisme antara faham animisme setempat dengan Hinduisme India, dan antara
Siwaisme dan Budhisme yang telah mengalami proses rohaniah Jawa.
Prinsip-prinsip Hinduisme-Budhisme tetap dipertahankan dalam agama ini,
sehingga dewa-dewa yang dipujanya pun berpusat pada Trimurti atau Trisakti
yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa. Disamping itu masih ada dewa-dewa yang dipuja
secara insidentil misalnya, dewa Ganesha sebagai lambang ilmu pengetahuan, dewa
Kama dan Ratih, dewa lambang cinta kasih; dewa Bregu sebagai dewa sabung ayam,
dewa Skanda sebagai dewa perang, dewa Kuwera sebagai dewa kekayaan dan Bayu
sebagai dewa angin dan sebagainya. Dewa yang dijadikan titik lingakaran
pemujaan dalam Hindu Dharma ini adalah Siwa. Dewa inilah yang sangat ditakuti
oleh mereka karena dapat menghancurkan jalan hidup manusia serta alam
sekitarnya. Dan dewa ini pula bilamana banyak dilalaikan orang akan dapat
menimbulkan kemarahannya, sehingga dapat merusak manusia serta alam pulau Bali
khususnya.[2]
BAB I
PEMBAHASAN
A.
Manusia , Alam dan Hubunganya dalam Agama Hindu
Kehidupan
dimulai dari yang paling halus sampai yang paling kasar. Sebelum manusia
diciptakan, terlabih dahulu Brahman dalam wujud sebagai Brahma, menciptakan
para gandharwa, pisaca, makhluk gaib, dan sebagainya. Setelah itu terciptalah
tumbuhan dan binatang. Manusia tercipta sesudah munculnya tumbuhan dan binatang
di muka bumi. Karena memiliki unsur-unsur yang menyusun alam semesta, maka
manusia disebut Bhuwana Alit, sedangkan jagat raya disebut Bhuwana Agung.
1.
Manusia
Penciptaan dalam
agama Hindu dijelaskan dalam Prasna Upanishad sebagai berikut: "Pada awalnya Sang Pencipta (Tuhan)
merindukan kegembiraan dari proses penciptaan. Dia lalu melakukan meditasi.
Lahirlah Rayi, jat atau materi dan Prana, roh kehidupan, lalu Tuhan berkata:
"kedua hal ini akan melahirkan kehidupan bagiku". Demikianlah
mahluk hidup diciptakan, melalui suatu perkembangan perlahan dari dua unsur
yang mula-mula diciptakan Tuhan sehingga mencapai bentuk-bentuknya sekarang.[3]
Mengenai
terjadinya manusia diajarkan demikian: Sari pancamahabhuta, yaitu sari ether,
hawa, api, air, dan bumi bersatu menjadi sadrasa (enam rasa), yaitu: rasa
manis, pahit, asam, asin, pedas, dan sepat. Kemudian unsur-unsur ini bercampur
dengan unsur-unsur yang lain, yaitu cita, budhi, ahangkara, dasendrya,
pancatanmatra, dan pancamahabhuta. Pencampuran ini menghasilkan dua unsur benih
kehidupan, yaitu mani wanita (swanita) dan mani laki-laki (sukla). Kedua unsur
benih kehidupan itu bertemu. Pertemuannya terjadi seperti halnya dengan
pertemuan purusa dan prakrti, serta melahirkan manusia. Oleh karena itu maka
sama halnya dengan alam semesta, manusia juga terdiri dari unsur-unsur cita,
budhi, dan ahangkara, yang membentuk watak budi manusia, dilengkapi dengan
dasendrya dan pancatanmatra serta pancamahabhuta atau anasir-anasir kasar, yang
bersama-sama membentuk tubuh manusia.[4]
Dalam diri
manusia ada beberpa hal penting selain unsur-unsurnya yang disebutkan di atas yang harus kita
ketahui, sebagai :
a.
Jiwa dan Raga
Pasangan dua
kata di atas sering kita temukan dalam lagu-lagu kebangsaan kita. bangunlah
badannya, bangunlah jiwanya. Padamu negeri, kupersembahkan jiwa dan ragaku.
Dalam percakapan sehari-hari kita mengatakan "badanku terasa ngilu dan
sakit". kalau kita dikhianati oleh seseorang kita mengatakan "hatiku
sakit sekali". Aku hidup dalam kelimpahan harta, tapi jiwaku
gersang", demikian mungkin yang dikatakan seseorang yang secara materi
berlebihan namun miskin secara spiritual.Jiwa dan raga itu merupakan satu
kesatuan. Tanpa Jiwa tidak dapat melakukan aktivitasnya.[5]
b.
Dari mana datangnya Badan
Badan datang
dari orang tua kita, Percampuran sperma dan ovum dari bapak dan Ibu kita
membentuk badan dalam rahim ibu.
c.
Dari mana datangnya Jiwa
Menurut agama
Hindu, jiwa kita sudah ada sebelumnya dan ia masuk ke tubuh bayi dengan membawa
"karma wasana" atau hasil-hasil perbuatan dalam hidupnya sebelumnya.
d.
Tubuh yang tak kekal
Badan merupakan
bagian yang tidak kekal dari manusia. Karena ia berubah. Dari setetes cairan ia
tumbuh menjadi janin, lahir sebagai bayi berkembang menjadi manusia dewasa.
Badan yang tegap ketika remaja berubah menjadi bungkuk ketika tua. Kulit yang
halus dan kencang ketika remaja, berubah menjadi kisut dan layu ketika tua. Ketika sudah mati badan
hancur. badan disebut stula sarira.
e.
Jiwa yang kekal
Jiwa merupakan
bagian yang kekal dari manusia. Ia tak
pernah berubah. Ia tidak mati ketika badan mati. Ia tidak terluka oleh senjata,
tidak terbakar oleh api. Ia ada selamanya Jiwa disebut sukma sarira.
Menurut agama
Hindu badan terdiri dari lima unsur yang disebut panca maha buta yaitu : tanah
(pertiwi), air (apah), api (teja), angin (bayu) dan ether (akasa). Pandangan
Hindu kemudian dibenarkan oleh hasil penelitian ahli fisika ternama Albert
Eistein bersama ahli fisika bangsa India Satyendra Nath Bose. Dalam bahasa
fisika unsur-unsurnya adalah : padat,
cair, gas dan plasma dan unsur yang kelima disebut KBE (kondesat Bose-Eistein).[6]
Jiwa berasal
dari Tuhan. Atman adalah jiwa dari mahluk. Brahman adalah jiwa alam semesta. Atman merupakan bagian dari Brahman. Seperti
setitik air hujan yang berasal dari samudera luas.
Menurut
kepercayaan Hindu, manusia pertama adalah Swayambu Manu. Nama ini bukan nama
seseorang, melainkan nama spesies. Swayambu Manu secara harfiah berarti
"makhluk berpikir yang menjadikan dirinya sendiri".
Dalam filsafat Sad-darsana
(Vaisesika) dijelaskan bahwa Jiwa
dalam adalah substansi yang kekal dan
meliputi segala yang merupakan phenomena kesadaran. Ada dua macam jiwa, yaitu
jiwa individu (jivatma) dan jiwa maha agung (Paramatma atau Ishvara). Yang
pertama dapat dipersepsi secara dalam atau secara mental sebagai memiliki suatu
kualitas apabila misalnya seorang berkata “Saya merasa bahagia”, “Saya merasa
menyesal”, dan sebagainya. Jiwa individual tidak satu, tetapi banyak, berbeda
dalam badan yang berbeda-beda. Yang
kedua adalah satu dan dapat disimpulkan sebagai pencipta dunia.[7]
Mahluk hidup
adalah jiwa-jiwa yang menikmati atau menderita dalam dunia ini sesuai dengan
keadaan mereka sendiri, apakah bijaksana atau dungu, baik atau buruk,
berkebajikan atau jahat.[8]
Sedangkan dalam Mimamsa, jiwa dalam adalah substansi
kekal abadi tak berbentuk yang dihubungkan dengan suatu badan jasmani nyata dalam suatu dunia nyata
dan ia tinggal hidup melampaui kematian untuk bisa memetik buah hasil
perbuatannya dalam hidup.[9]
2.
Alam
Ada beragam
kisah penciptaan alam semesta yang dituturkan secara mitologis dan berbeda-beda
dalam kitab-kitab Purana. Menurut kitab Weda, unsur dasar alam semesta ini
adalah aditi yang berarti ketiadaan atau kehampaan. Segala sesuatu yang ada
merupakan diti yang artinya terikat. Sebelum adanya alam semesta, yang ada
hanyalah Brahman, sesuatu yang sulit dilukiskan. Brahman berada di luar
kehidupan dan kematian, tak terikat oleh waktu, abadi, tak bergerak, ada dimana-mana,
memenuhi segala sesuatu. Menurut pendapat Harun Hadiwijino dalam bukunya,
dijelaskan bahwa penciptaan alam semesta (bhuwana agung) terjadi dengan bertapa.
Kemudian sang Hyang Widi memancarkan
kemahakuasaannya, artinya: tenaga pikiran yang mengeram di dalam sang Hyang
Widi dipusatkan sedemikian rupa hingga menimbulkan panas yang memancar.
Pancaran panas ini menyebabkan adanya Brahmanda (telur Brahma atau telur sang
Hyang Widi). Yang disebut telur Brahma adalah planet-planet yang bentuknya
bulat seperti telur. Proses menuju telur Brahma adalah sebagai berikut: karena
bertapa tadi terjadilah dua kekuatan asal (potensi asal) yang disebut Purusa
(kekuatan kejiwaan) dan Prakrti (kekuatan kebendaan). Kedua kekuatan ini
bertemu. Pertemuan ini menimbulkan yang disebut cita (alam pikiran) yang sudah
dikuasai oleh tiga kualitas atau triguna, yaitu sattwa, rajas, dan tamah.[10]
Menurut
kepercayaan Hindu, alam semesta terbentuk secara bertahap dan berevolusi.
Brahman menciptakan alam semesta dengan tapa. Dengan tapa itu, Brahman
memancarkan panas. Setelah menciptakan, Brahman menyatu ke dalam ciptaannya.
Menurut kitab Purana, pada awal proses penciptaan, terbentuklah Brahmanda. Pada
awal proses penciptaan juga terbentuk Purusa dan Prakerti. Kedua kekuatan ini
bertemu sehingga terciptalah alam semesta. Tahap ini terjadi berangsur-angsur,
tidak sekaligus. Mula-mula yang muncul adalah Citta (alam pikiran), yang sudah mulai
dipengaruhi oleh Triguna, yaitu Sattwam, Rajas dan Tamas. Tahap selanjutnya
adalah terbentuknya Triantahkarana, yang terdiri dari Buddhi (naluri); Manah
(akal pikiran); Ahamkara (rasa keakuan). Selanjutnya, munculah Pancabuddhindria
dan Pancakarmendria, yang disebut pula Dasendria (sepuluh indria).
Dalam filsafat
Sad-darsana Vaisesika Alam semesta
adalah suatu sistem benda-benda fisik beserta mahluk-mahluk hidup dengan indra
dan memiliki manah, intelek, dan egoism. Semua ini ada dan berbuat satu sama lain
dalam waktu, ruang, dan ether.[11]
Sedang dalam Mimamsa Alam semesta terdiri dari unsur pokok
bagian-bagian yang memiliki awal dan akhir, namun alam semesta ini sebagai
kesatuan menyeluruh tidak memiliki awal dan akhir. Karenanya tidak perlu adanya
campur tangan ilahi suci untuk memprodusir manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan
dan sebagainya, sebab masing-masing memiliki sendiri nenek moyang, induk,
benih-bibit, dan sebagainya.[12]
Dalam agama Hindu
dipandang sebagai ciptaan dewa Brahma yang diciptakan berkali-kali setelah
mengalami penghancuran dari siwa mahakala. Dalam pandangan hinduisme penciptaan
alam ada empat tahap sebagai berikut :
1. Kreta Yoga, adalah zaman terdapatnya
kebahagiaan abadi.
2. Dvapara Yoga, adalah zaman mulai
timbulnya dosa/noda-noda.
3. Treta Yoga, adalah zaman yang penuh
sengsara dan merajalelanya dosa-dosa.
4. Kali Yoga, adalah zaman yang penuh
dengan kejahatan yang banyak menimpa umat manusia.
Akhirnya
sebagai periode penutup, maka timbullah masa Pralaya yaitu kehancuran total
dari pada alam. Tetapi sesudah itu dewa Brahma menciptakan lagi dunia baru yang
dimulai padaMalam Brahma yang digambarkan sebagai malam gelap gulita.[13]
3. Hubungan Manusia
dengan Alam
Hubungan
manusia dengan alam merupakan hal yang mengharuskan manusia untuk bisa memahami
makna mendekatkan diri dengan alam , karena manusia tidak bisa hidup tanpa
alam, yaitu makna relasi yang saling menguntungkan dan menjaga satu sama lain.
Dalam
pandangan agama hindu hubungan alam dengan manusia secara rinci dibahas dan
dimulai dari konsep “Rtya” dan “Yadna”.
Rta[14]
Sebagai bagian imanen (tak terpisahkan) dari alam. Manusia pada setiap tahap
dalam kehidupannya dikuasai oleh fenomena dan hukum alam. Sedangkan Yadnya
merupakan hakikat hubungan antara manusia dengan alam yang terjadi dalam
keadaan harmonis, seimbang antara unsur-unsur yang ada pada alam dan
unsureunsur yang dimiliki oleh manusia. Hubungan timbal balik antara manusia
dan alam harus selalu dijaga. Hal ini diuratakan oleh organisasi agama hindu di
bali melalui fan page faceboknya.
Salah satu cara
yang dipakai untuk menjaga hubungan timbal balik ini menggunakan salah satu
konsep yajna yang disadari oleh ajaran Rta adalah konsep sad kartih.
Konsep sad
kartih merupakan konsep yang menyatakan bahwa Alam semesta ini termasuk manusia
menurut Veda terdiri dari unsur panca maha butha yang semua saling berkaitan
satu dengan yang lain. Agar terjadi sinergi yang baik maka berbagai kitab Hindu
yang dirumuskan oleh lontar-lontar Purana di Bali oleh orang-orang suci Hindu
di Bali. Bagian-bagian dari Sad Kertih.[15]
a. Atman Kertih
Yaitu suatu
upaya untuk melakukan pelestarian segala usaha untuk menyucikan Sang Hyang Atma
dari belenggu Tri Guna. Inti Atma Kertih adalah mengupayakan tetap tegaknya
fungsi kawasan suci,tempat suci dan kegiatan suci sebagai media untuk membangun
kesucian Atman.
b. Samudra Kertih
Yaitu upaya
untuk menjaga kelestarian samudra sebagai sumber alam yang memiliki fungsi yang
sangat komplek dalam kehidupan umat manusia.
c. Wana Kertih
Adalah upaya
untuk melestarikan hutan. Dalam Pancawati diajarkan tentang tiga fungsi hutan
hingga dapat membangun hutan yang lestari yang disebut Wana Astri yang dibagi
menjadi maha wana, tapa wana dan sri wana.
1. Maha wana
Adalah
hutan belantara sebagai sumber kehidupan manusia dan pelindung berbagai sumber
hayati didalamnya. Maha wana juga sebagai waduk alami yang akan menyimpan dan
mengalirkan air sepanjang tahun. Air dalam ajaran Hindu seperti dinyatakan.
2. Tapa wana
Merupakan fungsi
hutan sebagai sarana dalam spiritual yang menggemakan ajaran spiritual dimana
di hutan para pertapa mendirikan asrama dan memanjat doa serta mengajarkan
ajaran-ajaran suci ke dalam setiap hati umat manusia.
3. Sri wana
Adalah hutan sebagai
sarana ekonomi masyarakat karena dari hutanlah sebagian hasil bumi dapat
dihasilkan, dengan merusak hutan berarti merusak salah satu penunjang ekonomi
masyarakat.[16]
d. Danu Kertih
Ini merupakan
sebuah konsep tentang bagaimana menjaga kelestarian sumber air tawar yang ada
di daratan baik yang berupa mata air danau, sungai dan lain-lain. Seperti yang
dijelaskan dalam Manawa Dharmasastra .IV.52
Pratyagnim pratisuryam
ca
pratisomodaka dvijan
pratigam prativatam
ca
prajna nasyati mehatah.
Artinya :
Kecerdasan orang
akan sirna bila kencing menghadapi api, mata hari, bulan, kencing dalam air
sungai (air yang mengalir),menghadapi Brahmana, sapi, atau arah angin.
Juga dalam Manawa
Dharmasastra .IV.56
Napsu
mutram purisam va
sthivanam
va samutsrjet,
amedhya
liptam any
a
dva lohitam vavisani va.
Artinya;
Hendaknya ia
jangan melempar air kencingnya atau kotorannya ke dalam air sungai,tidak pula
air ludahnya, juga tidak boleh melemparkan perkataan yang tidak suci, tidak
pula kotoran-kotoran, tidak pula yang lain, tidak pula darah atau suatu yang
berbisa.
e. Jagat Kertih
Adalah usaha
untuk melestarikan bumi dalam hal ini tanah yang menjadi sumber kehidupan
hingga tanah menjadi produktif dan menghasilkan suatu yang berguna untuk
manusia dari sini terjadi suatu hubungan timbal balik antara bumi dan manusia
sehingga manusia tidak lagi hanya menjadi benalu seperti yang dominan terjadi
pada saat ini.
f. Jana Kertih
Jana kertih
lebih pada individu dalam membangun sebuah lingkungan spiritual hingga tercipta
suasana religius di sekitar individu tersebut ini sangat berguna dalam membina
hubungan sosial hingga tercipta suatu hubungan yang harmonis antar individu,
hubungan ini tidak lagi memandang perbedaan sebagai hambatan suatu kedekatan,
karena pada dasarnya semua manusia itu bersaudara.[17]
B.
Manusia Alam dan Hubungannya dalam Agama Buddha
Penciptaan
dimulai dari suatu yang paling halus hingga pada suatu yang paling kasar.
Penciptaan merupakan suatu keharusan dalam sebuah agama terutama menyangkut
masalah manusia dan alam hal ini ada kaitannya dengan Paticcasmupadda[18]
atau hukum sebab akibat. Secara sederhana Paticcasamuppada yang juga merupakan
hukum sebab akibat yang dapat dipahami dengan rumusan seperti di bawah ini:
Imasming
Sati Idang Hoti
Imassuppada
Idang Uppajjati
Dengan
timbulnya ini, maka timbulah itu.
Imasming
Asati Idang Na Hoti
Dengan
tidak adanya ini, maka tidak adalah itu.
Imassa
Nirodha Idang Nirujjati.
Dengan
terhentinya ini, maka terhentilah juga itu.[19]
Ketika
Sang Buddha berdiam di Savatthi…” Para bhikkhu, saya akan dan menganalisa sebab-musabab yang
saling bergantungkan kepada kalian.”
”Dan apakah sebab-musabab yang bergantungan itu? Dari
ketidaktahuan (avijja) sebagai kondisi penyebab maka muncullah bentuk-bentuk
perbuatan/kamma (sankhara). Dari bentuk-bentuk perbuatan/kamma (sankhara)
sebagai kondisi penyebab maka muncullah kesadaran (vinnana). Dari kesadaran
(vinnana) sebagai kondisi penyebab maka muncullah batin dan jasmani
(nama-rupa). Dari batin dan jasmani (nama-rupa) sebagai konsisi penyebab maka
muncullah enam indera (salayatana). Dari enam indera (salayatana) sebagai
kondisi penyebab maka muncullah kesan-kesan (phassa). Dari kesan-kesan (phassa)
sebagai kondisi penyebab maka muncullah perasaan (vedana). Dari perasaan
(vedana) sebagai konsisi penyebab maka muncullah keinginan/kehausan (tanha).
Dari keinginan/kehausan (tanha) sebagai kondisi penyebab maka muncullah
kemelekatan (upadana). Dari kemelekatan (upadana) sebagai kondisi penyebab maka
muncullah proses kelahiran kembali (bhava). Dari proses kelahiran kembali
(bhava) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kelahiran kembali (jati). Dari
kelahiran kembali (jati) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kelapukan dan
kematian, duka cita, sakit, kesusahan dan keputus-asaan (jaramaranang).
Demikianlah penyebab dari seluruh kesusahan dan penderitaan. (Paticca-samuppada-vibhanga
Sutta; Samyutta Nikaya 12.2 {S 2.1})
1.
Manusia
Manusia
seutuhnya menurut Buddha Dharma adalah seseorang yang telah melenyapkan
kekotoran Batin atau sekurang-kurangnya telah mencapai Sottapanna. Manusia
merupakan perpaduan antara 5 gugus kehidupan (Pancakkhanda)[20]
yang terdiri dari:
1.
Kelompok Jasmani
(rupa)
2.
Kelompok
Perasaan (vedana)
3.
Kelompok
Pencerapan (sanna)
4.
Kelompok
Bentukan Kehendak (sankhara)
5.
Kelompok
Kesadaran (vinnana)[21]
Manusia
seutuhnya adalah manusia yang hidup dengan menjunjung tinggi dan menjalani
nilai-nilai kemanusiaan, seperti kedermawanan, kebajikan, kemoralan, dan
kebijaksanaan.
Dalam
kitab Mahaparinibbanasutta Buddha menerangkan proses terjadinya kelahiran
mahkluk-mahkluk. Terdapat empat system mekanik hukum universal alam bekerja, Pertama, kelahiran melalui kandungan. Kedua, melalui bertelur. Ketiga, melalui kelembapan. dan Keempat, melalui spontan. Jenis keempat
spontan hanya berlaku pada kelahiran para mahkluk halus dewa dan peta/syetan.
Kelembapan, berlaku bagi pembiakan jentik, jamur, bakteri serangga tertentu,
dan sejenisnya. Adapun binatang tidak berkaki, berkaki dua; berkaki banyak,
menetas melalui bertelur. Sedangkan hewan-hewan berkaki empat dan berdaun
telinga lahir melalui kandungan. Dan mahluk manusia lahir melalui rahim Ibunya.
Diterangkan
pula, komposisi mahluk hidup manusia terdiri dari dua bagian, bagian badan
jasmani, dan bagian batin rohani. Batin merupakan perpaduan dari empat unsur daya,
yaitu; pertama, daya tangkap aroma,
rupa-rupa warna, suara melalui pintu-pintu indriya. kedua, daya serap rasa melalui indra perasaan, ketiga, daya cipta melalui imajinasi pikiran. keempat, daya ingat melaui kesadaran. Bagian badan jasmani
merupakan perpaduan empat unsur, yaitu; unsur tanah (patavi), unsur api (tejo),
unsur angin (wayo), dan unsur air (apo).
Dalam aliran
kebatinan memandang manusia itu terdiri
dari dua bagian; ”Badan jasmani dan Badan halus rohani”. atau Nama, Rupa (bhs.
Pali, istilah Buddhis), dan Badan wadag, Badan Rohilapi (istilah Kebatinan).
1. Badan Jasmani[22]
Badan jasmani berasal tunggal, dari
bahan baku yang sama; Pertama, Bumi,
Geni, Angin, Banyu (Jw.), Tanah, Api, Angin, Air (Ind.). (Patavi, Tejo, Wayo,
dan Apo (Pali). Kedua, Dumadining
kalahiran lumantar lakuning roda penguripan, ubenging cokro manggilingan.
Kintir Gumilir Liwat Bopo, Biyung, Kaki, Nini. (terjadinya kelahiran lewat
jalannya roda hukum kehidupan, berputar ulang, mengulang lewat media, Ayah,
Ibu, Kakek, Nenek). Ketiga, Kagontho Cipto Roso Cahyo Ponco Warno; Abang,
Putih, Ireng, Kuning, Moyo-moyo. Abang ciptaning roso soko Biyung, Putih soko
Bopo, Kuning soko Nini, Ireng soko Kaki. (terbentuk, cipta rasa lima warna;
Merah, Putih, Hitam, Kuning, Jingga. Merah cipta rasa dari Ibu, Putih dari
Ayah, Hitam dari Kakek, Kuning dari Nenek). Keempat,
Manunggaling dhat kiblat papat limo pancer, Wetan—kawiwitan, kulon— kelakonan,
kidul---kabul dinudul, lor---lahir, tengah----lungguhe urip. (Bertemunya daya
dari empat arah, lima di tengah-tengah, artinya---asal muasal sinar memancar
dari timur, barat mulai perjalanan, selatan proses pertumbuhan, utara
terjadinya kelahiran, bertemu menyatu di tengah terwujudnya mahluk hidup dan
kehidupan). Kelima, Dumadining maujud manungso, badan sepoto, sedulur papat,
limo pancer enem nyowo, pitu pengeran, siji kang ngungkul-ungkuli, jejering
ngaurip. (Terjadilah wujud badan manusia, empat, lima pintu indriya, ke enam
gerak hidup, ke tujuh, daya kekuatan yang menjadi sumber kehidupan).
2. Badan Halus Rohani
Badan halus
rohani terdiri dari, Sejatining Roso, Cipto, Budi, Karso, (Jw). Vedana, Saññya,
Sankhara, Viññyana (Pali), atau Daya tangkap, Daya serap rasa, Daya cipta
pikir, Daya ingat kesadaran (Ind.).
Apabila semua
pribadi dapat menembus hakikat pengertian hidup sejati, siapapun akan sadar
arti jati dirinya sendiri, dan akan tahu arti tepo seliro. Tepo = tepak,
ukuran. Seliro = awak, badan. Dus, tepo seliro artinya akan tahu mengerti inti
isi posisi diri sendiri, dan tahu diri orang lain. Tidak perlu lagi
membeda-bedakan diri dengan membuat wadah mengkotak-kotak petak, satu sama
lain, kaya atau miskin. Karena ternyata para manusia semua itu sama-sama titah
Allah terbuat dari bahan baku yang sama dipinjam dari milik alamiah semesta.[23]
“Manungso iku dumadining tanpo bedo, satuhune
tunggal jiwo, tunggal roso. Muloajo gemendung adigang, adigung, adiguno. Sok
kuwoso, rumongso biso, nanging ora biso romongso”.
(Manusia itu terjadinya tidak berbeda, sebenarnya tunggal jiwa, tunggal rasa. Maka
jangan mentang-mentang besar, dan pembesar. Hanya merasa berkuasa, tetapi tidak
bisa merasa).
Yang membedakan
manusia satu dengan yang lain tingkat cara berpikiran, ucapan dan perbuatannya
sebagai pribadi yang baik atau pribadi yang buruk. Diukur dari azas manfaat,
apakah bermanfaat buat diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan. Semakin besar
bermanfaat positif baik diberikan, semakin berharga arti keberadaan hidupnya manusia.
“IQ jongkok (amat bodoh), Kere klemprakan (melarat, kesrakat) sekalipun” selama
sebagai orang baik dan dapat bermanfaat hidupnya masih berharga. Ibarat kemana
pun ia pergi akan dihargai oleh sesama.
Adapun yang
membedakan manusia dengan hewan adalah perilaku. Maka jika manusia jiwa dan
perilakunya seperti hewan, serta merta oleh masyarakat seseorang dipredikati atau
dijuluki “menungso sikile papat” (manusia berkaki empat). Demikian pandangan,
wejangan guru ilmu kebatinan, kaweruh kejawen. Guru yang berkualitas batin
hening, bening, sunyi, suci, bersih tanpa cacat.[24]
3.
Alam[25]
Menurut
pandangan Buddhis, alam semesta ini luas sekali. Dalam alam semesta terdapat
banyak tata surya yang jumlahnya tidak dapat dihitung. Hal ini diterangkan oleh
Sang Buddha sebagai jawaban atas pertanyaan bhikkhu Ananda dalam Anguttara
Nikaya sebagai berikut :
Ananda apakah
kau pernah mendengar tentang seribu Culanika loka dhatu (tata surya kecil)?
....... Ananda, sejauh matahari dan bulan berotasi pada garis orbitnya, dan
sejauh pancaran sinar matahari dan bulan di angkasa, sejauh itulah luas seribu
tata surya. Di dalam seribu tata surya terdapat seribu matahari, seribu bulan,
seribu Sineru, seribu jambudipa, seribu Aparayojana, seribu Uttarakuru, seribu
Pubbavidehana ....... Inilah, Ananda, yang dinamakan seribu tata surya kecil (sahassi
culanika lokadhatu).
Ananda, seribu
kali sahassi culanika lokadhatu dinamakan "Dvisahassi majjhimanika
lokadhatu". Ananda, seribu kali Dvisahassi majjhimanika lokadhatu
dinamakan "Tisahassi Mahasahassi Lokadhatu".
Ananda, bilamana
Sang Tathagata mau, maka ia dapat memperdengarkan suara-Nya sampai terdengar di
Tisahassi mahasahassi lokadhatu, ataupun melebihi itu lagi.
Sesuai dengan
kutipan di atas dalam sebuah Dvisahassi Majjhimanika lokadhatu terdapat 1.000 x
1.000 = 1.000.000 tata surya. Sedangkan dalam Tisahassi Mahasahassi lokadhatu
terdapat 1.000.000 x 1.000 = 1.000.000.000 tata surya. Alam semesta bukan hanya
terbatas pada satu milyar tata surya saja, tetapi masih melampauinya lagi.
Terjadinya bumi
dan manusia merupakan konsep yang unik pula dalam agama Buddha, khususnya
tentang manusia pertama yang muncul di bumi kita ini bukanlah hanya seorang
atau dua orang, tetapi banyak. Kejadian bumi dan manusia pertama di bumi ini
diuraikan oleh Sang Buddha dalam Digha Nikaya, Agganna Sutta dan Brahmajala
Sutta. Tetapi di bawah ini hanya uraian dari Agganna Sutta yang akan
diterangkan.
Vasettha, terdapat
suatu saat, cepat atau lambat, setelah suatu masa yang lama sekali, ketika
dunia ini hancur. Dan ketika hal ini terjadi, umumnya mahluk-mahluk terlahir
kembali di Abhassara (alam cahaya); di sana mereka hidup dari ciptaan batin
(mano maya), diliputi kegiuran, memiliki tubuh yang bercahaya, melayang-layang
di angkasa, hidup dalam kemegahan. Mereka hidup demikian dalam masa yang lama
sekali.
Pada suatu masa
yang lampau, setelah berlangsungnya suatu masa yang lama sekali, 'bumi ini
belum ada'. Ketika itu umumnya mahluk-mahluk hidup di alam dewa Abhassara, di
situ mereka hidup ditunjang oleh kekuatan pikiran, diliputi kegiuran, dengan
tubuh yang bercahaya dan melayang-layang di angkasa hidup diliputi kemegahan,
mereka hidup demikian dalam masa yang lama sekali.
Demikianlah pada
suatu waktu yang lampau ketika berakhirnya suatu masa yang lama sekali, bumi
ini mulai ber-evolusi dalam pembentukan, ketika hal ini terjadi alam Brahma
kelihatan dan masih kosong.[26]
Ada mahluk dari
alam dewa Abhassara yang 'masa hidupnya' atau 'pahala kamma baiknya' untuk
hidup di alam itu telah habis, ia meninggal dari alam Abhassara itu dan
terlahir kembali di alam Brahma. Di sini, ia hidup ditunjang pula oleh kekuatan
pikirannya diliputi kegiuran, dengan tubuh yang bercahaya-cahaya dan
melayang-layang di angkasa, hidup diliputi kemegahan, ia hidup demikian dalam
masa yang lama sekali.[27]
4.
Hubungan Manusia dengan Alam
Sebagai awal
untuk memahami kesalingterkaitan makhluk hidup dengan alam, akan dijelaskan
interaksi antara manusia dengan hewan, hewan dengan alam, dan manusia dengan
alam. Setelah itu akan dibahas kesalingterkaitan keseluruhan, sehingga akan
menjadi jelas interaksi manusia, hewan, dan alam.
Sejak awal
adanya manusia, sudah terjadi interaksi antara Manusia dan hewan. Awal peradaban
maju nenek moyang manusia adalah ditandai dengan ditemukannya api. Namun sudah
sejak lama, sebelum dimulainya peradaban Manusia dalam mengenal api, Manusia telah
berburu—sebuah interaksi dengan hewan. Bahkan peradaban selanjutnya, Manusia memanfaatkan
hewan untuk diternak demi memenuhi kebutuhan hidup.
Interaksi Manusia dengan alam juga
telah terjadi sejak dahulu kala. Manusia telah memanfaatkan alam, untuk membuat
alat berburu, atau dimulainya era bercocok tanam setelah nenek moyang manusia hidup
menetap. Selain itu manusia membutuhkan makanan, air, udara yang bersih yang
kesemuanya adalah bagian dari lingkungan tempat manusia hidup.
Terlihat dengan jelas bahwa sejak
dahulu manusia telah berinteraksi dengan alam dan hewan untuk hidup. Sampai
pada akhirnya—saat ini— interaksi tersebut malah merusak hewan dan alam. Banyak
spesies hewan yang telah punah,
pencemaran air, udara, dan tanah, perusakan lingkungan hidup dan hutan.
Padahal manusia hidup di alam dan membutuhkan alam untuk hidup, namun karena
ketamakan manusia alam menjadi hancur. Bahkan bukan hanya alam, hewan pun tidak
terlepas dari jerat keserakahan manusia. Perburuan liar terjadi di mana-mana
hanya demi kepuasan materi. Alam yang semakin hancur, telah berdampak negatif
terhadap hewan. Banyak hewan mati dan akhirnya punah karena lingkungan hidup
mereka dirusak oleh manusia. Lebih menyedihkan lagi, manusia masih belum sadar
ataupun tidak segera bertindak walaupun manusia telah mengetahui bahwa
kehancuran lingkungan akan menyebabkan kehancuran pada dirinya. Hutan yang
semakin sempit, polusi udara yang disebabkan kendaraan bermotor atau industri,
membuat udara menjadi terkotori dan semakin sulit dibersihkan, hingga akibatnya
terjadi pemanasan global yang pada giliran selanjutnya malah akan merugikan
manusia sendiri. Jadi perbuatan manusia terhadap hewan atau alam sebagai
lingkungan hidup akan mengakibatkan dampak yang akhirnya akan berbalik
menghantam manusia.[28]
Dari pemaparan di atas dapat kita simpulkan bahwa
manusia dan alam merupakan makhluk yang diciptakan Tuhan untuk keberlangsungan makhluk
hidup didunia ini, sehingga apabila
manusia tidak memperhatikan alam atau bahkan merusaknya maka akan terjadi
sebuah bencana atau ketidakseimbangan alam semesta.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Disetiap Agama tentang penciptaan meruapakn hal yang
paling penting terutama penciptaan Manusia dan Alam karena penciptaan tersebut berhubungan
langsung dengan kepercayaan atau Iman penganutnya. Dalam agam Hindu mengenai
terjadinya Manusia diajarkan demikian: Sari Panca Maha Bhuta, yaitu sari ether,
hawa, api, air, dan bumi bersatu menjadi sadrasa (enam rasa), yaitu: rasa
manis, pahit, asam, asin, pedas, dan sepat. Kemudian unsur-unsur ini bercampur
dengan unsur-unsur yang lain, yaitu cita, budhi, ahangkara, dasendrya,
pancatanmatra, dan pancamahabhuta. Pencampuran ini menghasilkan dua unsur benih
kehidupan, yaitu mani Wanita (swanita)
dan mani Laki-laki (sukla). Kedua
unsur benih kehidupan itu bertemu. Pertemuannya terjadi seperti halnya dengan
pertemuan purusa dan prakrti, serta melahirkan Manusia. Oleh karena itu maka
sama halnya dengan alam semesta, manusia juga juga terdiri dari unsur-unsur
cita, budhi, dan ahangkara, yang membentuk watak budi manusia, dilengkapi
dengan dasendrya dan pancatanmatra serta pancamahabhuta atau anasir-anasir
kasar, yang bersama-sama membentuk tubuh Manusia.
Namun dalam
agama Buddha penciptaan Manusia seperti yang dijelasakn dalam Kitab Mahaparinibbanasutta
Buddha menerangkan proses terjadinya kelahiran Mahkluk-mahkluk. Terdapat empat
system mekanik hukum universal alam bekerja, Pertama, kelahiran melalui kandungan. Kedua, melalui bertelur. Ketiga,
melalui kelembapan. dan Keempat,
melalui spontan. Berbeda dengan alam budhis memandang bahwa alam semesta
sangatlah luas dan tentang penciptaannya hampir sama dengan konsep yang ada
pada agama Hindu.
BIBLIOGRAFI
Ali,
H. Akbar. Tuhan dan Manusia. penerjemah
Dr. H. Lukman Saksono. Penerbit : Grafikatama Jaya, 1992
Arifin,
H.M.. Belajar Memahami Ajaran Agama-agama
Besar. Jakarta: C.V. Sera Jaya, 1980.
Dahler,
Franj dan Julius Cahndra. Asal dan Tujuan
Manusia. penerbit Kanisius, Yogyakarta: 1991.
Dputhera,
Oka dan cornilis Wowor. Pedoman Dharma
Duta. Jakarta: Lovina Indah
Hadiwijono,
Harun. Agama Hindu dan Buddha. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2001, cet.
Ke-12.
Harian Kompas, tanggal 25 Juli 1995,
"Ramalan Eistein Terbukti Seteleh 70 tahun."
Ikeda, Diasakos.
Hidup Mutiara Penuh Rahasia. Jakarta:
Penerbit PT Indira, 1986.
Pendit,
Nyoman S.. Filsafat Hindu Dharma Sad-Darsana. buku kedua, Bali: pustaka bali
post, cet, ke-2 April 2007.
Schuman,
Olaf. Pemikiran Kagamaan Dalam Tantangan. Jakarta: penerbit Grasindo,
1993
Wasim,
Alef teria. Agama-agama Dunia. Jogjakarata:
IAIN Sunan Kalijaga Press,
Harian
Kompas, tanggal 25 Juli 1995, "Ramalan Eistein Terbukti Seteleh 70
tahun."
Hindu
Bali. Ajaran Rta dan Yajna Dalam Hindu
Dapat Menjadi Solusi Dalam Masalah Lingkungan Hidup. diakses di https://www.facebook.com/notes/hindu-bali/ajaran-rta-dan-yajna-dalam-hindu-dapat-menjadi-solusi-dalam-masalah-lingkungan-h/10151123281682596
diakses pada tanggal 16-04-2015
Dhammasubho,
Bhikkhu. Air Dan Hidup Manusia Secara Saintis Dalam Pandangan Agama Buddha.diakses
di http://www.pnri.go.id/iFileDownload.aspx?ID=Attachment%5CLiteraturKelabu%5CBhikkhu.pdf,
diakses pada 21 april 2015
Megumi,
Inara. Manusia Seutuhnya. Diakses di dihttp://willow-megumi.blogspot.com/2011/10/manusia-seutuhnya.html
pada tanggal 21 april 2015
Wijaya,
Willy Yandi. Ekologi Buddhis Sebuah Pembicaraan
Awal. Diakses di http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=1020.0;wap
diakses pada 21 april 2015
Lampiran I
Sumber :
Forum DhammaCitta Forum Diskusi Buddhis Indonesia http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=9609.0
Sumber
: http://webspace.webring.com/people/cm/mmthanhtike/diagram.jpg
Lampiran II
Sumber : http://www.chinabuddhismencyclopedia.com/en/images/f/f5/PancaKhandha.jpg
Lampiran III
sumber
: http://www.sangharatana.org/31-alam-kehidupan/
[1] Harun Hadiwijono, Agama Hindu
dan Buddha (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2001), cet. Ke-12, h. 139.
[2] H.M. Arifin, Belajar Memahami
Ajaran Agama-agama Besar (Jakarta: C.V. Sera Jaya, 1980), h. 74-75.
[3] Dr. Franj Dahler dan Julius Chandra , Asal dan Tujuan Manusia,( Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1991), h. 172.
[4] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, h. 173.
[5] H. Ali Akbar dan H. Lukman
Saksono : Tuhan dan Manusia,
penerjemah, (Penerbit Grafikatama Jaya, 1992), hal 124.
[6] Harian Kompas, tanggal 25 Juli 1995, "Ramalan Eistein Terbukti
Seteleh 70 tahun."
[7] Nyoman S. Pendit , Filsafat
Hindu Dharma Sad-Darsana, (Bali: Pustaka Bali Post, 2007), cet. ke-2, h. 34
[8]Nyoman S. Pendit , Filsafat
Hindu Dharma Sad-Darsana, h. 53
[9] I Nyoman S. Pendit , Filsafat
Hindu Dharma Sad-Darsana, h. 153
[10] Harun Hadiwijono, Agama Hindu
dan Buddha, opcit, h. 172.
[11] Nyoman S. Pendit , filsafat
hindu dharma, opcit, h. 53
[12] Nyoman S. Pendit , filsafat
hindu dharma, opcit, h. 129
[13] H.M. Arifin, Belajar Memahami
Ajaran Agama-agama Besar, h. 54-55.
[14] Alef teria wasim, agama-agama
dunia, (Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga Press), h. 62
[15] Ajaran Rta dan Yajna Dalam Hindu Dapat Menjadi Solusi Dalam Masalah
Lingkungan Hidup diakses di https://www.facebook.com/notes/hindu-bali/ajaran-rta-dan-yajna-dalam-hindu-dapat-menjadi-solusi-dalam-masalah-lingkungan-h/10151123281682596
diakses pada tanggal 16-04-2015
[16] Ajaran Rta dan Yajna Dalam Hindu Dapat Menjadi Solusi Dalam Masalah
Lingkungan Hidup diakses di https://www.facebook.com/notes/hindu-bali/ajaran-rta-dan-yajna-dalam-hindu-dapat-menjadi-solusi-dalam-masalah-lingkungan-h/10151123281682596
diakses pada tanggal 16-04-2015
[17] Ajaran Rta dan Yajna Dalam Hindu Dapat Menjadi Solusi Dalam Masalah
Lingkungan Hidup diakses di https://www.facebook.com/notes/hindu-bali/ajaran-rta-dan-yajna-dalam-hindu-dapat-menjadi-solusi-dalam-masalah-lingkungan-h/10151123281682596
diakses pada tanggal 16-04-2015
[18] Lihat, lampiran I
[19]Paticcasamuppada diakses di http://bhagavant.com/home.php?link=dhamma_sari&n_id=7
diakses pada 15 mei 2015
[20] Lihat lampiran II
[21] Inara Megumi, manusia
seutuhnya, di akses di
http://willow-megumi.blogspot.com/2011/10/manusia-seutuhnya.html pada tanggal
21 april 2015
[22] Bhikkhu Dhammasubho, Air Dan Hidup Manusia Secara Saintisdalam
Pandangan Agama Buddha diakses di http://www.pnri.go.id/iFileDownload.aspx?ID=Attachment%5CLiteraturKelabu%5CBhikkhu.pdf diakses pada 21
1pril 2015
[23] Bhikkhu Dhammasubho, Air Dan Hidup
Manusia Secara Saintisdalam Pandangan Agama Buddha, diakses di http://www.pnri.go.id/iFileDownload.aspx?ID=Attachment%5CLiteraturKelabu%5CBhikkhu.pdf . diakses pada 21
1pril 2015
[24] Bhikkhu Dhammasubho, Air Dan
Hidup Manusia Secara Saintisdalam Pandangan Agama Buddha, opcit,
[25] Lihat lampiran III
[26] Oka Dputhera dan Cornilis Wowor, Pedoman Dharma Duta, (Lovina
Indah), h. 30
[27] Oka Dputhera dan Cornilis Wowor, Pedoman Dharma Duta, (Lovina
Indah), h. 30
[28] Willy Yandi Wij aya, Ekologi
Buddhis Sebuah Pembicaraan Awal, Diakses
di http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=1020.0;wap
diakses pada 21 april 2015
[1] Harun Hadiwijono, Agama Hindu
dan Buddha (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2001), cet. Ke-12, h. 139.
[2] H.M. Arifin, Belajar Memahami
Ajaran Agama-agama Besar (Jakarta: C.V. Sera Jaya, 1980), h. 74-75.
[3] Dr. Franj Dahler dan Julius Chandra , Asal dan Tujuan Manusia,( Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1991), h. 172.
[4] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, h. 173.
[5] H. Ali Akbar dan H. Lukman
Saksono : Tuhan dan Manusia,
penerjemah, (Penerbit Grafikatama Jaya, 1992), hal 124.
[6] Harian Kompas, tanggal 25 Juli 1995, "Ramalan Eistein Terbukti
Seteleh 70 tahun."
[7] Nyoman S. Pendit , Filsafat
Hindu Dharma Sad-Darsana, (Bali: Pustaka Bali Post, 2007), cet. ke-2, h. 34
[8]Nyoman S. Pendit , Filsafat
Hindu Dharma Sad-Darsana, h. 53
[9] I Nyoman S. Pendit , Filsafat
Hindu Dharma Sad-Darsana, h. 153
[10] Harun Hadiwijono, Agama Hindu
dan Buddha, opcit, h. 172.
[11] Nyoman S. Pendit , filsafat
hindu dharma, opcit, h. 53
[12] Nyoman S. Pendit , filsafat
hindu dharma, opcit, h. 129
[13] H.M. Arifin, Belajar Memahami
Ajaran Agama-agama Besar, h. 54-55.
[14] Alef teria wasim, agama-agama
dunia, (Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga Press), h. 62
[15] Ajaran Rta dan Yajna Dalam Hindu Dapat Menjadi Solusi Dalam Masalah
Lingkungan Hidup diakses di https://www.facebook.com/notes/hindu-bali/ajaran-rta-dan-yajna-dalam-hindu-dapat-menjadi-solusi-dalam-masalah-lingkungan-h/10151123281682596
diakses pada tanggal 16-04-2015
[16] Ajaran Rta dan Yajna Dalam Hindu Dapat Menjadi Solusi Dalam Masalah
Lingkungan Hidup diakses di https://www.facebook.com/notes/hindu-bali/ajaran-rta-dan-yajna-dalam-hindu-dapat-menjadi-solusi-dalam-masalah-lingkungan-h/10151123281682596
diakses pada tanggal 16-04-2015
[17] Ajaran Rta dan Yajna Dalam Hindu Dapat Menjadi Solusi Dalam Masalah
Lingkungan Hidup diakses di https://www.facebook.com/notes/hindu-bali/ajaran-rta-dan-yajna-dalam-hindu-dapat-menjadi-solusi-dalam-masalah-lingkungan-h/10151123281682596
diakses pada tanggal 16-04-2015
[18] Lihat, lampiran I
[19]Paticcasamuppada diakses di http://bhagavant.com/home.php?link=dhamma_sari&n_id=7
diakses pada 15 mei 2015
[20] Lihat lampiran II
[21] Inara Megumi, manusia
seutuhnya, di akses di
http://willow-megumi.blogspot.com/2011/10/manusia-seutuhnya.html pada tanggal
21 april 2015
[22] Bhikkhu Dhammasubho, Air Dan Hidup Manusia Secara Saintisdalam
Pandangan Agama Buddha diakses di http://www.pnri.go.id/iFileDownload.aspx?ID=Attachment%5CLiteraturKelabu%5CBhikkhu.pdf diakses pada 21
1pril 2015
[23] Bhikkhu Dhammasubho, Air Dan Hidup
Manusia Secara Saintisdalam Pandangan Agama Buddha, diakses di http://www.pnri.go.id/iFileDownload.aspx?ID=Attachment%5CLiteraturKelabu%5CBhikkhu.pdf . diakses pada 21
1pril 2015
[24] Bhikkhu Dhammasubho, Air Dan
Hidup Manusia Secara Saintisdalam Pandangan Agama Buddha, opcit,
[25] Lihat lampiran III
[26] Oka Dputhera dan Cornilis Wowor, Pedoman Dharma Duta, (Lovina
Indah), h. 30
[27] Oka Dputhera dan Cornilis Wowor, Pedoman Dharma Duta, (Lovina
Indah), h. 30
[28] Willy Yandi Wij aya, Ekologi
Buddhis Sebuah Pembicaraan Awal, Diakses
di http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=1020.0;wap
diakses pada 21 april 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar