Materi : Bhavana dan Upacara kelahiran,
perkawinan, kematian dalam agama Hindu
Kelompok
:
(3) Shofiyatul Fithriyah , Nur Fitri Barliyana, Sadawi, Anifah Ayu Fitriah
A.
Ajaran Buddha tentang Bhavana
a.
Pengertian
Bhavana
Bhavana
berarti pengembangan, yaitu pengembangan batin dalam melaksanakan
pembersihannya. Istilah lain yang arti dan pemakaianya hampir sama dengan
Bhavana adalah Samadhi. Samadhi berarti pemusatan pikiran pada suatu obyek.
b.
Macam-macam
Bhavana
1.
Samatha Bhavana
Berarti
pengembangan pandangan batin yang bertujuan untuk mencapai ketenangan, batin
terutama pikiran terpusat dan tertuju pada suatu obyek.
2.
Vivasana Bhavana
Berarti
pengembangan pandangan terang yang bertujuan untuk mencapai pandangan terang.
B.
Upacara kelahiran, perkawinan dan kematian dalam
agama Hindu
a.
Makna kelahiran
dan upacaranya
Manusa
artinya manusia, Yadnya artinya upacara persembahan suci yang tulus ikhlas.
Upacara Manusa Yadnya adalah upacara persembahan suci yang tulus ikhlas dalam
rangka pemeliharaan, pendidikan serta penyucian secara spiritual terhadap
seseorang sejak terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai akhir kehidupan.
Upacara
manusa yadnya erat sekali hubungannya dengan Catur Purusa Arta yang artinya
empat tingkatan atau jenjang dalam menjalani hidup ini. Bagian dari catur
purusa arta adalahbrahmacari, grehasta, wanaprasta, dan bhiksuka. Dalam
Jenjang-jenjang hidup inilah kita akan mengalami yang disebut manusia dalam
agama tadi. Sebelum manusia itu dilahirkan dan masuk pada jenjang-jenjang
kehidupan.
b.
Makna perkawinan
dan upacaranya
Upacara
Perkawinan (Pawiwahan / Wiwaha) pada hakekatnya adalah upacara persaksian ke
hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan kepada masyarakat bahwa kedua orang yang
bersangkutan telah mengikatkan diri sebagai suami-istri.
Sarana :
1. Segehan
cacahan warna lima.
2. Api takep
(api yang dibuat dari serabut kelapa).
3. Tetabuhan
(air tawar, tuak, arak).
4.
Padengan-dengan/ pekala-kalaan.
5. Pejati.
6. Tikar dadakan
(tikar kecil yang dibuat dari pandan).
7. Pikulan
(terdiri dari cangkul, tebu, cabang kayu dadap yang ujungnya diberi periuk,
bakul yang berisi uang).
8. Bakul.
9. Pepegatan
terdiri dari dua buah cabang dadap yang dihubungkan dengan benang putih.
Waktu
Biasanya dipilih hari yang baik, sesuai dengan persyaratannya (ala-ayuning dewasa).
Tempat Dapat dilakukan di rumah mempelai Iaki-laki atau wanita sesuai dengan
hokum adat setempat (desa, kala, patra). Pelaksana Dipimpin oleh seorang
Pendeta / Pinandita / Wasi / Pemangku.
Tata cara
1. Sebelum
upacara natab banten pedengan-dengan, terlebih dahulu mempelai mabhyakala dan
maprayascita.
2. Kemudian
mempelai mengelilingi sanggah Kamulan dan sanggah Pesaksi sebanyak tiga kali
serta dilanjutkan dengan jual beli antara mempelai Iaki-laki dengan mempelai
wanita disertai pula dengan perobekan tikar dadakan oleh mempelai Iaki-laki.
3. Sebagai acara
terakhir dilakukan mejaya-jaya dan diakhiri dengan natab banten dapetan. Bagi
Umat Hindu upacara perkawinan mempunyai tiga arti penting yaitu :
- Sebagai
upacara suci yang tujuannya untuk penyucian diri kedua calon mempelai agar
mendapatkan tuntunan dalam membina rumah tangga dan nantinya agar bisa
mendapatkan keturunan yang baik dapat menolong meringankan derita orang
tua/leluhur.
- Sebagai
persaksian secara lahir bathin dari seorang pria dan seorang wanita bahwa
keduanya mengikatkan diri menjadi suami-istri dan segala perbuatannya menjadi
tanggung jawab bersama.
- Penentuan
status kedua mempelai, walaupun pada dasarnya Umat Hindu menganut sistim
patriahat (garis Bapak) tetapi dibolehkan pula untuk mengikuti sistim
patrilinier (garis Ibu). Di Bali apabila kawin mengikuti sistem patrilinier
(garis Ibu) disebut kawin nyeburin atau nyentana yaitu mengikuti wanita karena
wanita nantinya sebagai Kepala Keluarga.
Upacara
Pernikahan ini dapat dilakukan di halaman Merajan/Sanggah Kemulan ( Tempat Suci
Keluarga) dengan tata upacara yaitu kedua mempelai mengelilingi Sanggah Kemulan
( Tempat Suci Keluarga ) sampai tiga kali dan dalam perjalanan mempelai
perempuan membawa sok pedagangan ( keranjang tempat dagangan) yang laki memikul
tegen-tegenan (barang-barang yang dipikul) dan setiap kali melewati “Kala
Sepetan”(upakara sesajen yang ditaruh di tanah) kedua mempelai menyentuhkan
kakinya pada serabut kelapa belah tiga.
Setelah
tiga kali berkeliling, lalu berhenti kemudian mempelai laki berbelanja
sedangkan mempelai perempuan menjual segala isinya yang ada pada sok pedagangan
(keranjang tempat dagangan), dilanjutkan dengan merobek tikeh dadakan (tikar
yang ditaruh di atas tanah), menanam pohon kunir, pohon keladi (pohon talas)
serta pohon endong dibelakang sanggar pesaksi/sanggar Kemulan (Tempat Suci
Keluarga) dan diakhiri dengan melewati "Pepegatan" (Sarana Pemutusan)
yang biasanya digunakan benang didorong dengan kaki kedua mempelai sampai
benang tersebut putus.
c.
Makna kematian
dan upacaranya
Ngaben
merupakan salah satu upacara yang dilakukan oleh Umat Hindu di Bali yang
tergolong upacara Pitra Yadnya (upacara yang ditunjukkan kepada Leluhur).
Ngaben secara etimologis berasal dari kata api yang mendapat awalan nga, dan
akhiran an, sehingga menjadi ngapian, yang disandikan menjadi ngapen yang lama
kelamaan terjadi pergeseran kata menjadi ngaben. Upacara Ngaben selalu
melibatkan api, api yang digunakan ada 2, yaitu berupa api konkret (api
sebenarnya) dan api abstrak (api yang berasal dari Puja Mantra Pendeta yang
memimpin upacara). Versi lain mengatakan bahwa ngaben berasal dari kata beya
yang artinya bekal, sehingga ngaben juga berarti upacara memberi bekal kepada
Leluhur untuk perjalannya ke Sunia Loka
Bentuk-bentuk Upacara
Ngaben
1.
Ngaben Sawa
Wedana
Sawa Wedana adalah upacara ngaben dengan melibatkan
jenazah yang masih utuh (tanpa dikubur terlebih dahulu) . Biasanya upacara ini
dilaksanakan dalam kurun waktu 3-7 hari terhitung dari hari meninggalnya orang
tersebut. Pengecualian biasa terjadi pada upacara dengan skala Utama, yang
persiapannya bisa berlangsung hingga sebulan. Sementara pihak keluarga
mempersiapkan segala sesuatu untuk upacara maka jenazah akan diletakkan di
balai adat yang ada di masing-masing rumah dengan pemberian ramuan tertentu
untuk memperlambat pembusukan jenazah. Dewasa ini pemberian ramuan sering
digantikan dengan penggunaan formalin. Selama jenazah masih ditaruh di balai
adat, pihak keluarga masih memperlakukan jenazahnya seperti selayaknya masih
hidup, seperti membawakan kopi, memberi makan disamping jenazah, membawakan
handuk dan pakaian, dll sebab sebelum diadakan upacara yang disebut Papegatan
maka yang bersangkutan dianggap hanya tidur dan masih berada dilingkungan
keluarganya.
2.
Ngaben Asti Wedana
Asti
Wedana adalah upacara ngaben yang
melibatkan kerangka jenazah yang telah pernah dikubur. Upacara ini disertai
dengan upacara ngagah, yaitu upacara menggali kembali kuburan dari orang yang
bersangkutan untuk kemudian mengupacarai tulang belulang yang tersisa. Hal ini
dilakukan sesuai tradisi dan aturan desa setempat, misalnya ada upacara
tertentu dimana masyarakat desa tidak diperkenankan melaksanakan upacara
kematian dan upacara pernikahan maka jenazah akan dikuburkan di kuburan
setempat yang disebut dengan upacara Makingsan ring Pertiwi ( Menitipkan di Ibu
Pertiwi).
3.
Swasta
Swasta
adalah upacara ngaben tanpa memperlibatkan jenazah maupun kerangka mayat, hal
ini biasanya dilakukan karena beberapa hal, seperti : meninggal di luar negeri
atau tempat jauh, jenazah tidak ditemukan, dll. Pada upacara ini jenazah
biasanya disimbolkan dengan kayu cendana (pengawak) yang dilukis dan diisi
aksara magis sebagai badan kasar dari atma orang yang bersangkutan.
Tujuan Upacara
Ngaben
Upacara ngaben
secara konsepsional memiliki makna dan tujuan sebagai berikut :
1.
Dengan membakar
jenazah maupun simbolisnya kemudian menghanyutkan abu ke sungai, atau laut
memiliki makna untuk melepaskan Sang Atma (roh) dari belenggu keduniawian
sehingga dapat dengan mudah bersatu dengan Tuhan (Mokshatam Atmanam)
2.
Membakar jenazah
juga merupakan suatu rangkaian upacara untuk mengembalikan segala unsur Panca
Maha Bhuta (5 unsur pembangun badan kasar manusia) kepada asalnya masing-masing
agar tidak menghalangi perjalan Atma ke Sunia Loka Bagian Panca Maha Bhuta
yaitu : a. Pertiwi : unsur padat yang membentuk tulang, daging, kuku, dll b.
Apah: unsur cair yang membentuk darah, air liur, air mata, dll c. Bayu : unsur
udara yang membentuk nafas. d. Teja : unsur panas yang membentuk suhu tubuh. e.
Akasa : unsur ether yang membentuk rongga dalam tubuh.
3.
Bagi pihak
keluarga, upacara ini merupakan simbolisasi bahwa pihak keluarga telah ikhlas,
dan merelakan kepergian yang bersangkutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar