Selasa, 21 April 2015

Ajaran Hindu Dharma dan Buddha Dharma tentang Manusia dan Alam

AJARAN HINDU DHARMA DAN BUDDHA DHARMA TENTANG MANUSIA DAN ALAM
Makalah
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu tugas
Pada Hindu Buddha di Indonesia

Oleh :
Shofiyatul Fithriyah    :1113032100044
Sadawi                                    : 1113032100047
Nur Fitri Barliyana      : 1113032100048
Anifah Ayu Fitriyah   : 1113032100076
kelompok ; Tiga
kelas : V/B

dosen : Dra siti Nadroh, MA 

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS  ISLAM NEGRI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2015




KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang  telah memberikan rahmat sehatnya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan sempurna. Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang  telah mengajarkan kita tentang perjuangan melawan kebodohan sehingga kami bisa beradaptasi dan berkomunikasi serta menulis dengan landasan ilmiah dan juga akademis.
Selanjutnya kami sebagai pembuat makalah mengucapkan banyak terima kasih kepada civitas akademika terutama dosen pembimbing yang telah mengarahkan kami untuk menyelesaikan tugas pada matakuliah Hindu Buddha di  Indonesia namun, hal yang terpenting adalah juga meminta pada teman-teman dan khususnya dosen pembimbing untuk memberi saran dan kritikannya pada makalah yang kami buat. Karena, kami yakin bahwa makalah ini kuranglah sempurna sehingga kritik dan saran teman-teman dan khususnya dosen pembimbing sangatlah kami butuhkan.

            DAFTAR ISI




BAB I

PENDAHULUAN

            Tentang penciptaan alam dan manusia serta hubungan antara keduanya bukan merupakan yang tabu dalam agama, semua agama membahas tentang hal itu. Karena manusia dan alam merupakan yang paling penting dalam kehidupan maka tidak heran jika semua agama membahas tentang hal tersebut demi keberlangsungan agama juga keberlangsungan hidup manusia. Menurut orang Bali sejarah kebudayaan dan kemasyarakatan Bali dimulai dengan kedatangan Majapahit di Bali. Zaman sebelumnya dipandang sebagai zaman jahiliyah, zaman yang gelap, yang dikuasai roh-roh jahat serta mahluk-mahluk yang ajaib. Kedatangan orang-orang Majapahit menciptakan zaman baru. Akan tetapi sebenarnya jauh berabad-abad sebelum zaman Majapahit, di Bali Selatan sudah ada suatu kerajaan dengan kebudayaan Hindu, mungkin pada tahap pertama zaman Mataram kuno (antara tahun 600 dan 1000). Pusat kerajaan itu terdapat di Pejeng dan Bedulu dengan raja-raja Warmadewa. Ada kemungkinan bahwa  kemungkinan kerajaan ini disebabkam karena pengaruh Mataram.[1]
Maka dari sangat penting bagi kita mengkaji tentang menusia, alam dan juga hubungannya menurut agama Hindu dan Budhha terutama Hindu Buddha di Indonesia.  Aliran agama Hindu Dharma di Indonesia merupakan sinkretisme antara faham animisme setempat dengan Hinduisme India, dan antara Siwaisme dan Budhisme yang telah mengalami proses rohaniah Jawa. Prinsip-prinsip Hinduisme-Budhisme tetap dipertahankan dalam agama ini, sehingga dewa-dewa yang dipujanya pun berpusat pada Trimurti atau Trisakti yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa. Disamping itu masih ada dewa-dewa yang dipuja secara insidentil misalnya, dewa Ganesha sebagai lambang ilmu pengetahuan, dewa Kama dan Ratih, dewa lambang cinta kasih; dewa Bregu sebagai dewa sabung ayam, dewa Skanda sebagai dewa perang, dewa Kuwera sebagai dewa kekayaan dan Bayu sebagai dewa angin dan sebagainya. Dewa yang dijadikan titik lingakaran pemujaan dalam Hindu Dharma ini adalah Siwa. Dewa inilah yang sangat ditakuti oleh mereka karena dapat menghancurkan jalan hidup manusia serta alam sekitarnya. Dan dewa ini pula bilamana banyak dilalaikan orang akan dapat menimbulkan kemarahannya, sehingga dapat merusak manusia serta alam pulau Bali khususnya.[2]

BAB I

PEMBAHASAN

A.     Manusia , Alam dan Hubunganya dalam Agama Hindu

Kehidupan dimulai dari yang paling halus sampai yang paling kasar. Sebelum manusia diciptakan, terlabih dahulu Brahman dalam wujud sebagai Brahma, menciptakan para gandharwa, pisaca, makhluk gaib, dan sebagainya. Setelah itu terciptalah tumbuhan dan binatang. Manusia tercipta sesudah munculnya tumbuhan dan binatang di muka bumi. Karena memiliki unsur-unsur yang menyusun alam semesta, maka manusia disebut Bhuwana Alit, sedangkan jagat raya disebut Bhuwana Agung.

1.     Manusia

Penciptaan dalam agama Hindu dijelaskan dalam Prasna Upanishad sebagai berikut: "Pada awalnya Sang Pencipta (Tuhan) merindukan kegembiraan dari proses penciptaan. Dia lalu melakukan meditasi. Lahirlah Rayi, jat atau materi dan Prana, roh kehidupan, lalu Tuhan berkata: "kedua hal ini akan melahirkan kehidupan bagiku". Demikianlah mahluk hidup diciptakan, melalui suatu perkembangan perlahan dari dua unsur yang mula-mula diciptakan Tuhan sehingga mencapai bentuk-bentuknya sekarang.[3]
Mengenai terjadinya manusia diajarkan demikian: Sari pancamahabhuta, yaitu sari ether, hawa, api, air, dan bumi bersatu menjadi sadrasa (enam rasa), yaitu: rasa manis, pahit, asam, asin, pedas, dan sepat. Kemudian unsur-unsur ini bercampur dengan unsur-unsur yang lain, yaitu cita, budhi, ahangkara, dasendrya, pancatanmatra, dan pancamahabhuta. Pencampuran ini menghasilkan dua unsur benih kehidupan, yaitu mani wanita (swanita) dan mani laki-laki (sukla). Kedua unsur benih kehidupan itu bertemu. Pertemuannya terjadi seperti halnya dengan pertemuan purusa dan prakrti, serta melahirkan manusia. Oleh karena itu maka sama halnya dengan alam semesta, manusia juga terdiri dari unsur-unsur cita, budhi, dan ahangkara, yang membentuk watak budi manusia, dilengkapi dengan dasendrya dan pancatanmatra serta pancamahabhuta atau anasir-anasir kasar, yang bersama-sama membentuk tubuh manusia.[4]
Dalam diri manusia ada beberpa hal penting selain  unsur-unsurnya  yang disebutkan di atas yang harus kita ketahui, sebagai :
a.      Jiwa dan Raga
Pasangan dua kata di atas sering kita temukan dalam lagu-lagu kebangsaan kita. bangunlah badannya, bangunlah jiwanya. Padamu negeri, kupersembahkan jiwa dan ragaku. Dalam percakapan sehari-hari kita mengatakan "badanku terasa ngilu dan sakit". kalau kita dikhianati oleh seseorang kita mengatakan "hatiku sakit sekali". Aku hidup dalam kelimpahan harta, tapi jiwaku gersang", demikian mungkin yang dikatakan seseorang yang secara materi berlebihan namun miskin secara spiritual.Jiwa dan raga itu merupakan satu kesatuan. Tanpa Jiwa tidak dapat melakukan aktivitasnya.[5]
b.      Dari mana datangnya Badan
Badan datang dari orang tua kita, Percampuran sperma dan ovum dari bapak dan Ibu kita membentuk badan dalam rahim ibu.
c.       Dari mana datangnya Jiwa
Menurut agama Hindu, jiwa kita sudah ada sebelumnya dan ia masuk ke tubuh bayi dengan membawa "karma wasana" atau hasil-hasil perbuatan dalam hidupnya sebelumnya.
d.      Tubuh yang tak kekal
Badan merupakan bagian yang tidak kekal dari manusia. Karena ia berubah. Dari setetes cairan ia tumbuh menjadi janin, lahir sebagai bayi berkembang menjadi manusia dewasa. Badan yang tegap ketika remaja berubah menjadi bungkuk ketika tua. Kulit yang halus dan kencang ketika remaja, berubah menjadi kisut dan  layu ketika tua. Ketika sudah mati badan hancur. badan disebut stula sarira.
e.       Jiwa yang kekal
Jiwa merupakan bagian yang  kekal dari manusia. Ia tak pernah berubah. Ia tidak mati ketika badan mati. Ia tidak terluka oleh senjata, tidak terbakar oleh api. Ia ada selamanya  Jiwa disebut sukma sarira.
Menurut agama Hindu badan terdiri dari lima unsur yang disebut panca maha buta yaitu : tanah (pertiwi), air (apah), api (teja), angin (bayu) dan ether (akasa). Pandangan Hindu kemudian dibenarkan oleh hasil penelitian ahli fisika ternama Albert Eistein bersama ahli fisika bangsa India Satyendra Nath Bose. Dalam bahasa fisika unsur-unsurnya  adalah : padat, cair, gas dan plasma dan unsur yang kelima disebut KBE (kondesat Bose-Eistein).[6]
Jiwa berasal dari Tuhan. Atman adalah jiwa dari mahluk. Brahman adalah jiwa alam semesta.  Atman merupakan bagian dari Brahman. Seperti setitik air hujan yang berasal dari samudera luas.
Menurut kepercayaan Hindu, manusia pertama adalah Swayambu Manu. Nama ini bukan nama seseorang, melainkan nama spesies. Swayambu Manu secara harfiah berarti "makhluk berpikir yang menjadikan dirinya sendiri".
Dalam filsafat Sad-darsana (Vaisesika) dijelaskan bahwa Jiwa dalam adalah substansi yang  kekal dan meliputi segala yang merupakan phenomena kesadaran. Ada dua macam jiwa, yaitu jiwa individu (jivatma) dan jiwa maha agung (Paramatma atau Ishvara). Yang pertama dapat dipersepsi secara dalam atau secara mental sebagai memiliki suatu kualitas apabila misalnya seorang berkata “Saya merasa bahagia”, “Saya merasa menyesal”, dan sebagainya. Jiwa individual tidak satu, tetapi banyak, berbeda dalam badan yang berbeda-beda.  Yang kedua adalah satu dan dapat disimpulkan sebagai pencipta dunia.[7]
Mahluk hidup adalah jiwa-jiwa yang menikmati atau menderita dalam dunia ini sesuai dengan keadaan mereka sendiri, apakah bijaksana atau dungu, baik atau buruk, berkebajikan atau jahat.[8]
Sedangkan dalam Mimamsa, jiwa dalam adalah substansi kekal abadi tak berbentuk yang dihubungkan dengan suatu  badan jasmani nyata dalam suatu dunia nyata dan ia tinggal hidup melampaui kematian untuk bisa memetik buah hasil perbuatannya dalam hidup.[9]

2.     Alam

Ada beragam kisah penciptaan alam semesta yang dituturkan secara mitologis dan berbeda-beda dalam kitab-kitab Purana. Menurut kitab Weda, unsur dasar alam semesta ini adalah aditi yang berarti ketiadaan atau kehampaan. Segala sesuatu yang ada merupakan diti yang artinya terikat. Sebelum adanya alam semesta, yang ada hanyalah Brahman, sesuatu yang sulit dilukiskan. Brahman berada di luar kehidupan dan kematian, tak terikat oleh waktu, abadi, tak bergerak, ada dimana-mana, memenuhi segala sesuatu. Menurut pendapat Harun Hadiwijino dalam bukunya, dijelaskan bahwa penciptaan alam semesta (bhuwana agung) terjadi dengan bertapa. Kemudian  sang Hyang Widi memancarkan kemahakuasaannya, artinya: tenaga pikiran yang mengeram di dalam sang Hyang Widi dipusatkan sedemikian rupa hingga menimbulkan panas yang memancar. Pancaran panas ini menyebabkan adanya Brahmanda (telur Brahma atau telur sang Hyang Widi). Yang disebut telur Brahma adalah planet-planet yang bentuknya bulat seperti telur. Proses menuju telur Brahma adalah sebagai berikut: karena bertapa tadi terjadilah dua kekuatan asal (potensi asal) yang disebut Purusa (kekuatan kejiwaan) dan Prakrti (kekuatan kebendaan). Kedua kekuatan ini bertemu. Pertemuan ini menimbulkan yang disebut cita (alam pikiran) yang sudah dikuasai oleh tiga kualitas atau triguna, yaitu sattwa, rajas, dan tamah.[10]
Menurut kepercayaan Hindu, alam semesta terbentuk secara bertahap dan berevolusi. Brahman menciptakan alam semesta dengan tapa. Dengan tapa itu, Brahman memancarkan panas. Setelah menciptakan, Brahman menyatu ke dalam ciptaannya. Menurut kitab Purana, pada awal proses penciptaan, terbentuklah Brahmanda. Pada awal proses penciptaan juga terbentuk Purusa dan Prakerti. Kedua kekuatan ini bertemu sehingga terciptalah alam semesta. Tahap ini terjadi berangsur-angsur, tidak sekaligus. Mula-mula yang muncul adalah Citta (alam pikiran), yang sudah mulai dipengaruhi oleh Triguna, yaitu Sattwam, Rajas dan Tamas. Tahap selanjutnya adalah terbentuknya Triantahkarana, yang terdiri dari Buddhi (naluri); Manah (akal pikiran); Ahamkara (rasa keakuan). Selanjutnya, munculah Pancabuddhindria dan Pancakarmendria, yang disebut pula Dasendria (sepuluh indria).
Dalam filsafat Sad-darsana Vaisesika Alam semesta adalah suatu sistem benda-benda fisik beserta mahluk-mahluk hidup dengan indra dan memiliki manah, intelek, dan egoism. Semua ini ada dan berbuat satu sama lain dalam waktu, ruang, dan ether.[11]
Sedang dalam Mimamsa Alam semesta terdiri dari unsur pokok bagian-bagian yang memiliki awal dan akhir, namun alam semesta ini sebagai kesatuan menyeluruh tidak memiliki awal dan akhir. Karenanya tidak perlu adanya campur tangan ilahi suci untuk memprodusir manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya, sebab masing-masing memiliki sendiri nenek moyang, induk, benih-bibit, dan sebagainya.[12]
Dalam agama Hindu dipandang sebagai ciptaan dewa Brahma yang diciptakan berkali-kali setelah mengalami penghancuran dari siwa mahakala. Dalam pandangan hinduisme penciptaan alam ada empat tahap sebagai berikut :
1.      Kreta Yoga, adalah zaman terdapatnya kebahagiaan abadi.
2.      Dvapara Yoga, adalah zaman mulai timbulnya dosa/noda-noda.
3.      Treta Yoga, adalah zaman yang penuh sengsara dan merajalelanya dosa-dosa.
4.      Kali Yoga, adalah zaman yang penuh dengan kejahatan yang banyak menimpa umat manusia.
Akhirnya sebagai periode penutup, maka timbullah masa Pralaya yaitu kehancuran total dari pada alam. Tetapi sesudah itu dewa Brahma menciptakan lagi dunia baru yang dimulai padaMalam Brahma yang digambarkan sebagai malam gelap gulita.[13]

3.  Hubungan Manusia dengan Alam

Hubungan manusia dengan alam merupakan hal yang mengharuskan manusia untuk bisa memahami makna mendekatkan diri dengan alam , karena manusia tidak bisa hidup tanpa alam, yaitu makna relasi yang saling menguntungkan dan menjaga satu sama lain.
Dalam pandangan agama hindu hubungan alam dengan manusia secara rinci dibahas dan dimulai dari konsep “Rtya” dan “Yadna”.
Rta[14] Sebagai bagian imanen (tak terpisahkan) dari alam. Manusia pada setiap tahap dalam kehidupannya dikuasai oleh fenomena dan hukum alam. Sedangkan Yadnya merupakan hakikat hubungan antara manusia dengan alam yang terjadi dalam keadaan harmonis, seimbang antara unsur-unsur yang ada pada alam dan unsureunsur yang dimiliki oleh manusia. Hubungan timbal balik antara manusia dan alam harus selalu dijaga. Hal ini diuratakan oleh organisasi agama hindu di bali melalui fan page faceboknya.
Salah satu cara yang dipakai untuk menjaga hubungan timbal balik ini menggunakan salah satu konsep yajna yang disadari oleh ajaran Rta adalah konsep sad kartih.
Konsep sad kartih merupakan konsep yang menyatakan bahwa Alam semesta ini termasuk manusia menurut Veda terdiri dari unsur panca maha butha yang semua saling berkaitan satu dengan yang lain. Agar terjadi sinergi yang baik maka berbagai kitab Hindu yang dirumuskan oleh lontar-lontar Purana di Bali oleh orang-orang suci Hindu di Bali. Bagian-bagian dari Sad Kertih.[15]
a.       Atman Kertih
Yaitu suatu upaya untuk melakukan pelestarian segala usaha untuk menyucikan Sang Hyang Atma dari belenggu Tri Guna. Inti Atma Kertih adalah mengupayakan tetap tegaknya fungsi kawasan suci,tempat suci dan kegiatan suci sebagai media untuk membangun kesucian Atman.
b.      Samudra Kertih
Yaitu upaya untuk menjaga kelestarian samudra sebagai sumber alam yang memiliki fungsi yang sangat komplek dalam kehidupan umat manusia.
c.       Wana Kertih
Adalah upaya untuk melestarikan hutan. Dalam Pancawati diajarkan tentang tiga fungsi hutan hingga dapat membangun hutan yang lestari yang disebut Wana Astri yang dibagi menjadi maha wana, tapa wana dan sri wana.
1.      Maha wana
Adalah hutan belantara sebagai sumber kehidupan manusia dan pelindung berbagai sumber hayati didalamnya. Maha wana juga sebagai waduk alami yang akan menyimpan dan mengalirkan air sepanjang tahun. Air dalam ajaran Hindu seperti dinyatakan.
2.      Tapa wana
Merupakan fungsi hutan sebagai sarana dalam spiritual yang menggemakan ajaran spiritual dimana di hutan para pertapa mendirikan asrama dan memanjat doa serta mengajarkan ajaran-ajaran suci ke dalam setiap hati umat manusia.
3.      Sri wana
Adalah hutan sebagai sarana ekonomi masyarakat karena dari hutanlah sebagian hasil bumi dapat dihasilkan, dengan merusak hutan berarti merusak salah satu penunjang ekonomi masyarakat.[16]
d.      Danu Kertih
Ini merupakan sebuah konsep tentang bagaimana menjaga kelestarian sumber air tawar yang ada di daratan baik yang berupa mata air danau, sungai dan lain-lain. Seperti yang dijelaskan dalam Manawa Dharmasastra .IV.52
Pratyagnim pratisuryam ca
pratisomodaka dvijan
            pratigam prativatam
           ca prajna nasyati mehatah.
Artinya :
Kecerdasan orang akan sirna bila kencing menghadapi api, mata hari, bulan, kencing dalam air sungai (air yang mengalir),menghadapi Brahmana, sapi, atau arah angin.
Juga dalam Manawa Dharmasastra .IV.56
Napsu mutram purisam va
sthivanam va samutsrjet,
amedhya liptam any 
a dva lohitam vavisani va.
Artinya;
Hendaknya ia jangan melempar air kencingnya atau kotorannya ke dalam air sungai,tidak pula air ludahnya, juga tidak boleh melemparkan perkataan yang tidak suci, tidak pula kotoran-kotoran, tidak pula yang lain, tidak pula darah atau suatu yang berbisa.
e.       Jagat Kertih
Adalah usaha untuk melestarikan bumi dalam hal ini tanah yang menjadi sumber kehidupan hingga tanah menjadi produktif dan menghasilkan suatu yang berguna untuk manusia dari sini terjadi suatu hubungan timbal balik antara bumi dan manusia sehingga manusia tidak lagi hanya menjadi benalu seperti yang dominan terjadi pada saat ini.
f.       Jana Kertih
Jana kertih lebih pada individu dalam membangun sebuah lingkungan spiritual hingga tercipta suasana religius di sekitar individu tersebut ini sangat berguna dalam membina hubungan sosial hingga tercipta suatu hubungan yang harmonis antar individu, hubungan ini tidak lagi memandang perbedaan sebagai hambatan suatu kedekatan, karena pada dasarnya semua manusia itu bersaudara.[17]

B.     Manusia Alam dan Hubungannya dalam Agama Buddha

Penciptaan dimulai dari suatu yang paling halus hingga pada suatu yang paling kasar. Penciptaan merupakan suatu keharusan dalam sebuah agama terutama menyangkut masalah manusia dan alam hal ini ada kaitannya dengan Paticcasmupadda[18] atau hukum sebab akibat. Secara sederhana Paticcasamuppada yang juga merupakan hukum sebab akibat yang dapat dipahami dengan rumusan seperti di bawah ini:
Imasming Sati Idang Hoti
Dengan adanya ini, maka terjadilah itu.
Imassuppada Idang Uppajjati
Dengan timbulnya ini, maka timbulah itu.
Imasming Asati Idang Na Hoti
Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu.
Imassa Nirodha Idang Nirujjati.
Dengan terhentinya ini, maka terhentilah juga itu.[19]
Ketika Sang Buddha berdiam di Savatthi…” Para bhikkhu, saya  akan dan menganalisa sebab-musabab yang saling bergantungkan kepada kalian.”
Dan apakah sebab-musabab yang bergantungan itu? Dari ketidaktahuan (avijja) sebagai kondisi penyebab maka muncullah bentuk-bentuk perbuatan/kamma (sankhara). Dari bentuk-bentuk perbuatan/kamma (sankhara) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kesadaran (vinnana). Dari kesadaran (vinnana) sebagai kondisi penyebab maka muncullah batin dan jasmani (nama-rupa). Dari batin dan jasmani (nama-rupa) sebagai konsisi penyebab maka muncullah enam indera (salayatana). Dari enam indera (salayatana) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kesan-kesan (phassa). Dari kesan-kesan (phassa) sebagai kondisi penyebab maka muncullah perasaan (vedana). Dari perasaan (vedana) sebagai konsisi penyebab maka muncullah keinginan/kehausan (tanha). Dari keinginan/kehausan (tanha) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kemelekatan (upadana). Dari kemelekatan (upadana) sebagai kondisi penyebab maka muncullah proses kelahiran kembali (bhava). Dari proses kelahiran kembali (bhava) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kelahiran kembali (jati). Dari kelahiran kembali (jati) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kelapukan dan kematian, duka cita, sakit, kesusahan dan keputus-asaan (jaramaranang). Demikianlah penyebab dari seluruh kesusahan dan penderitaan. (Paticca-samuppada-vibhanga Sutta; Samyutta Nikaya 12.2 {S 2.1})

1.     Manusia

            Manusia seutuhnya menurut Buddha Dharma adalah seseorang yang telah melenyapkan kekotoran Batin atau sekurang-kurangnya telah mencapai Sottapanna. Manusia merupakan perpaduan antara 5 gugus kehidupan (Pancakkhanda)[20] yang terdiri dari:
            1.        Kelompok Jasmani (rupa)
            2.        Kelompok Perasaan (vedana)
            3.        Kelompok Pencerapan (sanna)
            4.        Kelompok Bentukan Kehendak (sankhara)
            5.        Kelompok Kesadaran (vinnana)[21]
Manusia seutuhnya adalah manusia yang hidup dengan menjunjung tinggi dan menjalani nilai-nilai kemanusiaan, seperti kedermawanan, kebajikan, kemoralan, dan kebijaksanaan.
Dalam kitab Mahaparinibbanasutta Buddha menerangkan proses terjadinya kelahiran mahkluk-mahkluk. Terdapat empat system mekanik hukum universal alam bekerja, Pertama, kelahiran melalui kandungan. Kedua, melalui bertelur. Ketiga, melalui kelembapan. dan Keempat, melalui spontan. Jenis keempat spontan hanya berlaku pada kelahiran para mahkluk halus dewa dan peta/syetan. Kelembapan, berlaku bagi pembiakan jentik, jamur, bakteri serangga tertentu, dan sejenisnya. Adapun binatang tidak berkaki, berkaki dua; berkaki banyak, menetas melalui bertelur. Sedangkan hewan-hewan berkaki empat dan berdaun telinga lahir melalui kandungan. Dan mahluk manusia lahir melalui rahim Ibunya.
Diterangkan pula, komposisi mahluk hidup manusia terdiri dari dua bagian, bagian badan jasmani, dan bagian batin rohani. Batin merupakan perpaduan dari empat unsur daya, yaitu; pertama, daya tangkap aroma, rupa-rupa warna, suara melalui pintu-pintu indriya. kedua, daya serap rasa melalui indra perasaan, ketiga, daya cipta melalui imajinasi pikiran. keempat, daya ingat melaui kesadaran. Bagian badan jasmani merupakan perpaduan empat unsur, yaitu; unsur tanah (patavi), unsur api (tejo), unsur angin (wayo), dan unsur air (apo).
Dalam aliran kebatinan  memandang manusia itu terdiri dari dua bagian; ”Badan jasmani dan Badan halus rohani”. atau Nama, Rupa (bhs. Pali, istilah Buddhis), dan Badan wadag, Badan Rohilapi (istilah Kebatinan).
1. Badan Jasmani[22]
            Badan jasmani berasal tunggal, dari bahan baku yang sama; Pertama, Bumi, Geni, Angin, Banyu (Jw.), Tanah, Api, Angin, Air (Ind.). (Patavi, Tejo, Wayo, dan Apo (Pali). Kedua, Dumadining kalahiran lumantar lakuning roda penguripan, ubenging cokro manggilingan. Kintir Gumilir Liwat Bopo, Biyung, Kaki, Nini. (terjadinya kelahiran lewat jalannya roda hukum kehidupan, berputar ulang, mengulang lewat media, Ayah, Ibu, Kakek, Nenek). Ketiga,  Kagontho Cipto Roso Cahyo Ponco Warno; Abang, Putih, Ireng, Kuning, Moyo-moyo. Abang ciptaning roso soko Biyung, Putih soko Bopo, Kuning soko Nini, Ireng soko Kaki. (terbentuk, cipta rasa lima warna; Merah, Putih, Hitam, Kuning, Jingga. Merah cipta rasa dari Ibu, Putih dari Ayah, Hitam dari Kakek, Kuning dari Nenek). Keempat, Manunggaling dhat kiblat papat limo pancer, Wetan—kawiwitan, kulon— kelakonan, kidul---kabul dinudul, lor---lahir, tengah----lungguhe urip. (Bertemunya daya dari empat arah, lima di tengah-tengah, artinya---asal muasal sinar memancar dari timur, barat mulai perjalanan, selatan proses pertumbuhan, utara terjadinya kelahiran, bertemu menyatu di tengah terwujudnya mahluk hidup dan kehidupan).  Kelima, Dumadining maujud manungso, badan sepoto, sedulur papat, limo pancer enem nyowo, pitu pengeran, siji kang ngungkul-ungkuli, jejering ngaurip. (Terjadilah wujud badan manusia, empat, lima pintu indriya, ke enam gerak hidup, ke tujuh, daya kekuatan yang menjadi sumber kehidupan).
2.      Badan Halus Rohani
Badan halus rohani terdiri dari, Sejatining Roso, Cipto, Budi, Karso, (Jw). Vedana, Saññya, Sankhara, Viññyana (Pali), atau Daya tangkap, Daya serap rasa, Daya cipta pikir, Daya ingat kesadaran (Ind.).
Apabila semua pribadi dapat menembus hakikat pengertian hidup sejati, siapapun akan sadar arti jati dirinya sendiri, dan akan tahu arti tepo seliro. Tepo = tepak, ukuran. Seliro = awak, badan. Dus, tepo seliro artinya akan tahu mengerti inti isi posisi diri sendiri, dan tahu diri orang lain. Tidak perlu lagi membeda-bedakan diri dengan membuat wadah mengkotak-kotak petak, satu sama lain, kaya atau miskin. Karena ternyata para manusia semua itu sama-sama titah Allah terbuat dari bahan baku yang sama dipinjam dari milik alamiah semesta.[23]
“Manungso iku dumadining tanpo bedo, satuhune tunggal jiwo, tunggal roso. Muloajo gemendung adigang, adigung, adiguno. Sok kuwoso, rumongso biso, nanging ora biso romongso”. (Manusia itu terjadinya tidak berbeda, sebenarnya tunggal jiwa, tunggal rasa. Maka jangan mentang-mentang besar, dan pembesar. Hanya merasa berkuasa, tetapi tidak bisa merasa).
Yang membedakan manusia satu dengan yang lain tingkat cara berpikiran, ucapan dan perbuatannya sebagai pribadi yang baik atau pribadi yang buruk. Diukur dari azas manfaat, apakah bermanfaat buat diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan. Semakin besar bermanfaat positif baik diberikan, semakin berharga arti keberadaan hidupnya manusia. “IQ jongkok (amat bodoh), Kere klemprakan (melarat, kesrakat) sekalipun” selama sebagai orang baik dan dapat bermanfaat hidupnya masih berharga. Ibarat kemana pun ia pergi akan dihargai oleh sesama.
Adapun yang membedakan manusia dengan hewan adalah perilaku. Maka jika manusia jiwa dan perilakunya seperti hewan, serta merta oleh masyarakat seseorang dipredikati atau dijuluki “menungso sikile papat” (manusia berkaki empat). Demikian pandangan, wejangan guru ilmu kebatinan, kaweruh kejawen. Guru yang berkualitas batin hening, bening, sunyi, suci, bersih tanpa cacat.[24]

3.     Alam[25]

Menurut pandangan Buddhis, alam semesta ini luas sekali. Dalam alam semesta terdapat banyak tata surya yang jumlahnya tidak dapat dihitung. Hal ini diterangkan oleh Sang Buddha sebagai jawaban atas pertanyaan bhikkhu Ananda dalam Anguttara Nikaya sebagai berikut :
Ananda apakah kau pernah mendengar tentang seribu Culanika loka dhatu (tata surya kecil)? ....... Ananda, sejauh matahari dan bulan berotasi pada garis orbitnya, dan sejauh pancaran sinar matahari dan bulan di angkasa, sejauh itulah luas seribu tata surya. Di dalam seribu tata surya terdapat seribu matahari, seribu bulan, seribu Sineru, seribu jambudipa, seribu Aparayojana, seribu Uttarakuru, seribu Pubbavidehana ....... Inilah, Ananda, yang dinamakan seribu tata surya kecil (sahassi culanika lokadhatu).
Ananda, seribu kali sahassi culanika lokadhatu dinamakan "Dvisahassi majjhimanika lokadhatu". Ananda, seribu kali Dvisahassi majjhimanika lokadhatu dinamakan "Tisahassi Mahasahassi Lokadhatu".
Ananda, bilamana Sang Tathagata mau, maka ia dapat memperdengarkan suara-Nya sampai terdengar di Tisahassi mahasahassi lokadhatu, ataupun melebihi itu lagi.
Sesuai dengan kutipan di atas dalam sebuah Dvisahassi Majjhimanika lokadhatu terdapat 1.000 x 1.000 = 1.000.000 tata surya. Sedangkan dalam Tisahassi Mahasahassi lokadhatu terdapat 1.000.000 x 1.000 = 1.000.000.000 tata surya. Alam semesta bukan hanya terbatas pada satu milyar tata surya saja, tetapi masih melampauinya lagi.
Terjadinya bumi dan manusia merupakan konsep yang unik pula dalam agama Buddha, khususnya tentang manusia pertama yang muncul di bumi kita ini bukanlah hanya seorang atau dua orang, tetapi banyak. Kejadian bumi dan manusia pertama di bumi ini diuraikan oleh Sang Buddha dalam Digha Nikaya, Agganna Sutta dan Brahmajala Sutta. Tetapi di bawah ini hanya uraian dari Agganna Sutta yang akan diterangkan.
Vasettha, terdapat suatu saat, cepat atau lambat, setelah suatu masa yang lama sekali, ketika dunia ini hancur. Dan ketika hal ini terjadi, umumnya mahluk-mahluk terlahir kembali di Abhassara (alam cahaya); di sana mereka hidup dari ciptaan batin (mano maya), diliputi kegiuran, memiliki tubuh yang bercahaya, melayang-layang di angkasa, hidup dalam kemegahan. Mereka hidup demikian dalam masa yang lama sekali.
Pada suatu masa yang lampau, setelah berlangsungnya suatu masa yang lama sekali, 'bumi ini belum ada'. Ketika itu umumnya mahluk-mahluk hidup di alam dewa Abhassara, di situ mereka hidup ditunjang oleh kekuatan pikiran, diliputi kegiuran, dengan tubuh yang bercahaya dan melayang-layang di angkasa hidup diliputi kemegahan, mereka hidup demikian dalam masa yang lama sekali.
Demikianlah pada suatu waktu yang lampau ketika berakhirnya suatu masa yang lama sekali, bumi ini mulai ber-evolusi dalam pembentukan, ketika hal ini terjadi alam Brahma kelihatan dan masih kosong.[26]
Ada mahluk dari alam dewa Abhassara yang 'masa hidupnya' atau 'pahala kamma baiknya' untuk hidup di alam itu telah habis, ia meninggal dari alam Abhassara itu dan terlahir kembali di alam Brahma. Di sini, ia hidup ditunjang pula oleh kekuatan pikirannya diliputi kegiuran, dengan tubuh yang bercahaya-cahaya dan melayang-layang di angkasa, hidup diliputi kemegahan, ia hidup demikian dalam masa yang lama sekali.[27]

4.     Hubungan Manusia dengan Alam

Sebagai awal untuk memahami kesalingterkaitan makhluk hidup dengan alam, akan dijelaskan interaksi antara manusia dengan hewan, hewan dengan alam, dan manusia dengan alam. Setelah itu akan dibahas kesalingterkaitan keseluruhan, sehingga akan menjadi jelas interaksi manusia, hewan, dan alam.
Sejak awal adanya manusia, sudah terjadi interaksi antara Manusia dan hewan. Awal peradaban maju nenek moyang manusia adalah ditandai dengan ditemukannya api. Namun sudah sejak lama, sebelum dimulainya peradaban Manusia dalam mengenal api, Manusia telah berburu—sebuah interaksi dengan hewan. Bahkan peradaban selanjutnya, Manusia memanfaatkan hewan untuk diternak demi memenuhi kebutuhan hidup.
            Interaksi Manusia dengan alam juga telah terjadi sejak dahulu kala. Manusia telah memanfaatkan alam, untuk membuat alat berburu, atau dimulainya era bercocok tanam setelah nenek moyang manusia hidup menetap. Selain itu manusia membutuhkan makanan, air, udara yang bersih yang kesemuanya adalah bagian dari lingkungan tempat manusia hidup.
            Terlihat dengan jelas bahwa sejak dahulu manusia telah berinteraksi dengan alam dan hewan untuk hidup. Sampai pada akhirnya—saat ini— interaksi tersebut malah merusak hewan dan alam. Banyak spesies hewan yang telah punah,  pencemaran air, udara, dan tanah, perusakan lingkungan hidup dan hutan. Padahal manusia hidup di alam dan membutuhkan alam untuk hidup, namun karena ketamakan manusia alam menjadi hancur. Bahkan bukan hanya alam, hewan pun tidak terlepas dari jerat keserakahan manusia. Perburuan liar terjadi di mana-mana hanya demi kepuasan materi. Alam yang semakin hancur, telah berdampak negatif terhadap hewan. Banyak hewan mati dan akhirnya punah karena lingkungan hidup mereka dirusak oleh manusia. Lebih menyedihkan lagi, manusia masih belum sadar ataupun tidak segera bertindak walaupun manusia telah mengetahui bahwa kehancuran lingkungan akan menyebabkan kehancuran pada dirinya. Hutan yang semakin sempit, polusi udara yang disebabkan kendaraan bermotor atau industri, membuat udara menjadi terkotori dan semakin sulit dibersihkan, hingga akibatnya terjadi pemanasan global yang pada giliran selanjutnya malah akan merugikan manusia sendiri. Jadi perbuatan manusia terhadap hewan atau alam sebagai lingkungan hidup akan mengakibatkan dampak yang akhirnya akan berbalik menghantam manusia.[28]
Dari pemaparan di atas dapat kita simpulkan bahwa manusia dan alam merupakan makhluk yang diciptakan Tuhan untuk keberlangsungan makhluk hidup didunia ini,  sehingga apabila manusia tidak memperhatikan alam atau bahkan merusaknya maka akan terjadi sebuah bencana atau ketidakseimbangan alam semesta. 

BAB III

PENUTUP


KESIMPULAN


Disetiap  Agama tentang penciptaan meruapakn hal yang paling penting terutama penciptaan Manusia dan Alam karena penciptaan tersebut berhubungan langsung dengan kepercayaan atau Iman penganutnya. Dalam agam Hindu mengenai terjadinya Manusia diajarkan demikian: Sari Panca Maha Bhuta, yaitu sari ether, hawa, api, air, dan bumi bersatu menjadi sadrasa (enam rasa), yaitu: rasa manis, pahit, asam, asin, pedas, dan sepat. Kemudian unsur-unsur ini bercampur dengan unsur-unsur yang lain, yaitu cita, budhi, ahangkara, dasendrya, pancatanmatra, dan pancamahabhuta. Pencampuran ini menghasilkan dua unsur benih kehidupan, yaitu mani Wanita (swanita) dan mani Laki-laki (sukla). Kedua unsur benih kehidupan itu bertemu. Pertemuannya terjadi seperti halnya dengan pertemuan purusa dan prakrti, serta melahirkan Manusia. Oleh karena itu maka sama halnya dengan alam semesta, manusia juga juga terdiri dari unsur-unsur cita, budhi, dan ahangkara, yang membentuk watak budi manusia, dilengkapi dengan dasendrya dan pancatanmatra serta pancamahabhuta atau anasir-anasir kasar, yang bersama-sama membentuk tubuh Manusia.
Namun dalam agama Buddha penciptaan Manusia seperti yang dijelasakn dalam Kitab Mahaparinibbanasutta Buddha menerangkan proses terjadinya kelahiran Mahkluk-mahkluk. Terdapat empat system mekanik hukum universal alam bekerja, Pertama, kelahiran melalui kandungan. Kedua, melalui bertelur. Ketiga, melalui kelembapan. dan Keempat, melalui spontan. Berbeda dengan alam budhis memandang bahwa alam semesta sangatlah luas dan tentang penciptaannya hampir sama dengan konsep yang ada pada agama Hindu.
   

BIBLIOGRAFI


Ali, H. Akbar. Tuhan dan Manusia. penerjemah Dr. H. Lukman Saksono. Penerbit : Grafikatama Jaya, 1992
Arifin, H.M.. Belajar Memahami Ajaran Agama-agama Besar. Jakarta: C.V. Sera Jaya, 1980.
Dahler, Franj dan Julius Cahndra. Asal dan Tujuan Manusia. penerbit Kanisius, Yogyakarta: 1991.
Dputhera, Oka dan cornilis Wowor. Pedoman Dharma Duta.  Jakarta: Lovina Indah
Hadiwijono, Harun.  Agama Hindu dan Buddha. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2001, cet. Ke-12.
 Harian Kompas, tanggal 25 Juli 1995, "Ramalan Eistein Terbukti Seteleh 70 tahun."
Ikeda, Diasakos. Hidup Mutiara Penuh Rahasia. Jakarta: Penerbit PT Indira, 1986.
Pendit, Nyoman S..  Filsafat Hindu Dharma Sad-Darsana. buku kedua, Bali: pustaka bali post, cet, ke-2 April 2007.
Schuman, Olaf.  Pemikiran Kagamaan Dalam Tantangan. Jakarta: penerbit Grasindo, 1993
Wasim, Alef teria. Agama-agama Dunia. Jogjakarata: IAIN Sunan Kalijaga Press,
Harian Kompas, tanggal 25 Juli 1995, "Ramalan Eistein Terbukti Seteleh 70 tahun."
Dhammasubho, Bhikkhu.  Air Dan Hidup Manusia Secara Saintis Dalam Pandangan Agama Buddha.diakses di http://www.pnri.go.id/iFileDownload.aspx?ID=Attachment%5CLiteraturKelabu%5CBhikkhu.pdf, diakses pada 21 april 2015
Megumi, Inara. Manusia Seutuhnya. Diakses di dihttp://willow-megumi.blogspot.com/2011/10/manusia-seutuhnya.html pada tanggal 21 april 2015
Wijaya, Willy Yandi. Ekologi Buddhis Sebuah Pembicaraan Awal. Diakses di http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=1020.0;wap diakses pada 21 april 2015

Lampiran I

  
 Sumber : Forum DhammaCitta Forum Diskusi Buddhis Indonesia http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=9609.0



 
Sumber : http://webspace.webring.com/people/cm/mmthanhtike/diagram.jpg



Lampiran II
                                 
 

Sumber : http://www.chinabuddhismencyclopedia.com/en/images/f/f5/PancaKhandha.jpg



Lampiran III
 



                                  sumber :  http://www.sangharatana.org/31-alam-kehidupan/




[1] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2001), cet. Ke-12, h. 139.
[2] H.M. Arifin, Belajar Memahami Ajaran Agama-agama Besar (Jakarta: C.V. Sera Jaya, 1980), h. 74-75.
[3] Dr. Franj Dahler dan Julius Chandra , Asal dan Tujuan Manusia,( Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1991), h. 172.
[4] Harun Hadiwijono,  Agama Hindu dan Buddha, h. 173.
[5] H. Ali Akbar dan  H. Lukman Saksono : Tuhan dan Manusia, penerjemah, (Penerbit Grafikatama Jaya, 1992), hal 124.
[6] Harian Kompas, tanggal 25 Juli 1995, "Ramalan Eistein Terbukti Seteleh 70 tahun."
[7] Nyoman S. Pendit , Filsafat Hindu Dharma Sad-Darsana, (Bali: Pustaka Bali Post, 2007), cet. ke-2, h. 34
[8]Nyoman S. Pendit , Filsafat Hindu Dharma Sad-Darsana, h. 53
[9] I Nyoman S. Pendit , Filsafat Hindu Dharma Sad-Darsana,  h. 153
[10] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, opcit,  h. 172.
[11] Nyoman S. Pendit , filsafat hindu dharma, opcit,  h. 53
[12] Nyoman S. Pendit , filsafat hindu dharma, opcit,  h. 129
[13] H.M. Arifin, Belajar Memahami Ajaran Agama-agama Besar,  h. 54-55.
[14] Alef teria wasim, agama-agama dunia, (Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga Press), h. 62
[18] Lihat, lampiran I
[19]Paticcasamuppada diakses di http://bhagavant.com/home.php?link=dhamma_sari&n_id=7 diakses pada 15 mei 2015
[20] Lihat lampiran II
[21] Inara Megumi, manusia seutuhnya, di akses di http://willow-megumi.blogspot.com/2011/10/manusia-seutuhnya.html pada tanggal 21 april 2015
[22] Bhikkhu Dhammasubho, Air Dan Hidup Manusia Secara Saintisdalam Pandangan Agama Buddha diakses di http://www.pnri.go.id/iFileDownload.aspx?ID=Attachment%5CLiteraturKelabu%5CBhikkhu.pdf diakses pada 21 1pril 2015
[23] Bhikkhu Dhammasubho, Air Dan Hidup Manusia Secara Saintisdalam Pandangan Agama Buddha, diakses di http://www.pnri.go.id/iFileDownload.aspx?ID=Attachment%5CLiteraturKelabu%5CBhikkhu.pdf . diakses pada 21 1pril 2015
[24] Bhikkhu Dhammasubho, Air Dan Hidup Manusia Secara Saintisdalam Pandangan Agama Buddha, opcit,
[25] Lihat lampiran III
[26] Oka Dputhera dan Cornilis Wowor, Pedoman Dharma Duta,  (Lovina Indah), h. 30
[27] Oka Dputhera dan Cornilis Wowor, Pedoman Dharma Duta,  (Lovina Indah), h. 30 
[28] Willy Yandi Wij aya, Ekologi Buddhis Sebuah Pembicaraan Awal, Diakses di http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=1020.0;wap diakses pada 21 april 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar